Abu Nawas diminta memberikan ceramah di hadapan pembesar negeri. Semua
sudah tahu bahwa para pembesar negeri tersebut suka memras rakyat kecil dengan
berbagai sumbangan wajib dan upeti-upeti terselubung. Yaitu jika rakyat
memerlukan wewenang mereka untuk menyelesaikan suatu urusan.
Dalam ceramahnya,
Abu Nawas lantas bercerita:
“Pada suatu
ketika beberapa negara mengadakan pertandingan. Yang ikut bertanding adalah
wakil-wakil dari negara Hitam, Putih, Bule, Kuning, dan juga negara kita.
Pertandingannya sendiri sebenarnya tidak istimewa. Hanya memeras handuk basah.
Siapa yang berhasil mengocorkan air paling banyak dari handuk yang hampir
kering itu, dialah yang menang.
“Majulah orang
Hitam yang terkenal kuat-kuat. Ia mengangkat handuk itu, lalu memerasnya sekuat
tenaga. Namun, hasilnya Cuma beberapa tetes air.
“Sekarang giliran
orang Putih yang termahsyur kesaktiannya.
Ternyata air yang keluar dari handuk itu juga hanya sedikit.
“Orang Bule yang
tersohor sombong pun demikian pula kesudahannya. Walaupun ia sudah berkutat
sampai berkeringat, handuk itu Cuma mengeluarkan beberapa titik air.
“Tibalah saatnya
orang Kuning yang bangsanya menguasai dua pertiga dunia dengan kecerdikan dan
kekuatannya. Memang, orang kuning boleh saja merajalela di jalan-jalan, di
pasar-pasar, dan di istana orang-orang berpangkat. Namun, ketika ia memeras
handuk yang setengah kering itu, air yang mengucur juga tidak banyak. Hanya beberapa
ciprat saja.
“Maka majulah
wakil negara kita. Orangnya kecil, kerempeng dan pucat pasi, hingga para wakil
negara lainnya mencibirkan bibir. Mana mungkin orang sekurus itu dapat
menandingi mereka?
“Tetapi, sungguh
mencengangkan. Walaupun ketika mengangkat handuk itu wakil negara kita tersebut
sudah keberatan, pada waktu memerasnya air yang keluar banyak sekali, sampai
timbul banjir dimana-mana.
“Dengan takjub
lawan-lawannya bertanya serempak, ‘Sangat mengherankan. Bagaimanakah Tuan yang
kecil dan kurus dapat memeras handuk itu sampai airnya melimpah ruah?”
“Sambil
membusungkan dada, wakil negara kita itu lantas menjawab, ‘Wahai Tuan-tuan.
Tentu saja tak kan bisa menandingi saya dalam pertandingan memeras handuk ini.
Sebab di negeri saya, soal peras-memeras memang merupakan kebiasaan
sehari-hari, di mana-mana.’”
Mendengar ceramah
Abu Nawas tersebut para pembesar negeri yang sering melakukan pemerasan itu
tertunduk. Mereka merasa malu dan berjanji tak kan mengulangi perbuatan buruk
itu lagi.
Itulah sekelumit
kecerdikan orang kecil yang tidak punya banyak ilmu, harta, maupun kekuasaan.
Otaknya bisa berputar lancar dalam keadaan
terpaksa untuk mencari keselamatn dan jalan keluar.
Sama seperti yang dialami oleh seorang
jemaah haji dari Sunda di Tanah Suci Makkah. Ia tersesat ketika hendak tawaf
mengelilingi Ka’bah. Ia telah mencari-cari, di
manakah Masjidil Haram, mau bertanya-tanya ia hanya bisa berbahasa Sunda.
Padahal dari tadi tidak dijumpainya orang sekampung.
Alangkah
gembiranya orang Sunda itu ketika bertemu dengan jemaah lain yang kulitnya
sama. Disangkanya orang itu berasal sedaerah dengannya. Maka dengan bahasa
Sunda yang lancer ia bertanya:
“Punten. Palih mana nu bade ka Masjidil Haram?” Maksudnya
menanyakan arah menuju Masjidil Haram.
Tahu-tahu jamaah yang ditanya bukan orang Sunda. Kulitnya
sama, tetapi bahasanya berbeda. Sebab ia orang Jawa totok yang hanya mengerti
bahasa Jawa. Karena itu orang tersebut menggeleng seraya menjawab, “Lhah.
Boten ngertos.” Artinya, tidak mengerti apa yang ditanyakan.
Tetapi orang
Sunda itu tidak kehabisan akal. Ia berpikir, orang Jawa itu toh biasa
bersembahyang, dan pasti mengerti bahasa Jawanya surah Al-Fatihah, sebab surah
itu wajib dibaca dalam sembahyang.
Ia pun lantas berkata, “Punten. Ihdina Masjidil Haram.”
(Ihdina adalah salah satu kalimat dalam Al-Fatihah yang maknanya berilah kami
petunjuk.”
Betul juga. Orang Jawa itu paham maksudnya. Maka sambil
tertawa orang itu menjawab. ”Shirathal mustaqim.” (Ini juga terdapat
dalam Al-Fatihah yang bahasa kitanya berarti jalan lurus.)
Orang Sunda itu
dengan suka cita mengucapkan terima kasih, lalu berjalan lurus ke depan.
Beberapa langkah di muka ia agak kebingungan. Yang lurus jalannya kecil,
sedangkan yang lebar jalannya ke sebelah kiri. Jadi ia menempuh jalan yang agak
ke kiri itu karena lebih lebar.
Dari kejauhan orang Jawa tadi berteriak, “Waladl dlallin.
Mustaqim. Jangan tersesat. Lurus saja.”
Dengan peringatan
terakhir itu, orang Sunda tersebut berhasil mencapai tempat yang dituju,
Masjidil Haram, yang tengahnya terdapat Ka’bah, tempat ia akan melakukan tawaf
tujuh kali putar.