Setelah menginjak masa remaja, Abdul Qadir berniat untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi. Kota yang ditujunya adalah Baghdad. Sebetulnya ibunya khawatir uga karena Baghdad terlalu jauh buat pemuda kecil itu. Apalagi melewati jalan-jalan lengang yang sering dihuni pembegal-pembegal.
Namun, menghadapi kemauan keras anaknya, akhirnya ibunya memberi izin. Uang dinar sebanyak 40 dinar dijahitkan di dalam baju Abdul Qadir. Kemudian anak itu dititipkan kepada sebuah kafilah niaga.
Hanya satu pesan ibunya sebelum berangkat, yaitu apapun keadaan yang dihadapi, Abdul Qadir tidak boleh berbohong kepada siapapun. Pesan ini senantiasa diingat oleh pemuda belia itu, dan dipegangnya sebagai wasiat yang paling berharga.
Pada suatu hari, kafilah itu sampailah di sebuah tempat yang bernama Hammadan. Menjelang masuk ke pintu kota, tiba-tiba muncul 60 penyamun seperti hantu-hantu yang baru bangkit dari kuburnya, dengan menggunakan senjata mereka merampok kafilah itu habis-habisan.
Barangkali lantaran dianggap pemuda kerempeng yang melarat, Abdul Qadir sama sekali tidak diperdulikan. Pikir mereka, pemuda ingusan itu toh tidak membawa apa-apa. Pakaiannya sangat sederhana dan wajahnya polos belaka.
Tapi ada juga seorang penyamun yang bertanya, “Hai anak muda kamu punya apa?”
Abdul Qadir menjawab, “Saya punya uang 40 dinar dijahit di baju saya.”
Penyamun itu tertawa terbahak-bahak, tidak percaya. Datang lagi yang lain. Ia pun bertanya, “Hai, kau punya apa?”
“Saya punya uang 40dinar dijahitkan oleh ibu saya di dalam baju saya.”
Kali ini ia melaporkan kepada kepala penyamun. Mendengar pernyataan tersebut segera diperintahkan agar Abdul Qadir dihadapkan kepadanya.
Kepala penyamun itu memerintahkan agar baju si anak muda digeledah. Betul, dibalik bajunya ada uang 40 dinar yang dijahitkan kuat-kuat. Kepala penyamun sampai heran dan bertanya, “Hai anak muda. Uang sudah disembunyikan, mengapa kau katakan rahasianya?”
Abdul Qadir menjawab tenang, “Ibu saya berpesan supaya jangan berdusta kepada siapapun. Saya telah berjanji kepada ibu untuk mematuhi pesannya itu dalam keadaan bagaimanapun.”
Mendengar jawaban yang serba jujur ini terharu hati kepala penjahat itu. Seolah-olah ia ditegur dengan keras. Matanya sampai berkaca-kaca, ingat akan dosa dan keculasannya. Seumur hidupnya ia tidak pernah kenal kejujuran. Hidupnya menipu, dan menindas orang lain. timbullah penyesalannya, hingga tanpa terasa ia menangis dengan sedih.
Setelah lapang dadanya dengan tangisan sesal itu, ia menjabat tangan Abdul Qadir dan memeluknya. Ia berjanji akan menghentikan perbuatan jahatnya karena malu terhadap kejujuran seorang anak muda.
Semenjak itu kepala penjahat itu dikenal sebagai orang yang insaf, demikian pula anak buahnya.