Di salah satu desa
subur di Bojonegoro - Jawa Timur, kala sang surya baru
menampakkan raut muka. Pak budi dan ubaid sedang jalan-jalan menyusuri
persawahan. Pak budi mulai pembicaraanya
rata-rata Dengan cara bertani konvensional, pendapatan
petani memang tidak menarik. Tetapi petani bukan tanpa harapan, ada peluang
besar menanti mereka. Yang disebut bertani konvensional adalah bertani
seperti yang dilakukan oleh para petani sekarang. Sekali menanam, panen sekali
dan untuk ini diperlukan tenaga kerja yang intensif, biaya benih, pupuk dan
obat-obatan. Akibatnya tanah menjadi seperti orang yang
kecanduan, bila tidak diberi pupuk produksi langsung turun – tetapi bila terus
diberi pupuk – kualitas tanah juga terus menurun secara gradual, dan dalam
jangka panjang produktifitas lahan juga pasti turun.
Bila petani Indonesia rata-rata memiliki
lahan 0.25 hektar, maka di daerah yang paling subur sekalipun mereka biasanya hanya akan panen padi tiga kali. Katakanlah
masing-masingnya 6 ton/hektar petani dengan 0.25 ha lahan hanya akan
mendapatkan 1.5 ton gabah sekali panen. Dengan harga gabah sekarang dikisaran
Rp 5,000/kg; petani hanya memperoleh hasil penjualan gabahnya Rp 7.5 juta per
panen. Tiga kali panen berarti mendapatkan Rp 22.5 juta.
Tetapi ingat bahwa Rp 22.5 juta ini adalah
penjualan kotor, setelah dipotong biaya tenaga kerja, bibit, pupuk dan
obat-obatan katakanlah 50 %-nya, maka petani dengan luas lahan 0.25 hektar yang
subur hanya akan mendapatkan pendapatan bersih Rp 11.25 juta setahun (tiga kali
panen) atau Rp 937,500,- bila dirata-rata bulanan.
Lau jika dibandingkan
dengan Gaji pegawai negeri terendah-pun
kini Rp 1,323,000 per bulan (golongan 1 A dengan masa kerja nol tahun), jauh
lebih tinggi dari petani rata-rata yang memiliki lahan 0.25 hektar. Maka tidak
mengherankan bila para petani hingga kini menjual lahannya untuk membiayai
anaknya masuk menjadi pegawai negeri dlsb.
Bila arus ini dibiarkan terus menerus, maka akan semakin banyak lahan-lahan petani
yang jatuh ke tangan orang kaya hanya untuk sekedar klangenan (hiburan), mereka
tidak antusias mengolahnya dan malah lebih sering hanya sebagai investasi
belaka. Ketahanan pangan nasional akan terancam bila praktek demikian
dibiarkan.
Lantas apa solusinya, pak?, kata ubaid kepada pak Budi.
setidaknya dua solusi yang kami padukan
dari multi disiplin dan masing-masing keahlian telah memulai mencobanya di
lapangan
Pertama, adalah Go Organic – ini yang
sudah dicoba oleh team kami di Jawa-Timur dengan
hasil yang sangat baik. Bertani organic tidak harus mahal, justru sebaliknya
bisa menjadi murah karena tidak ada pupuk dan obat-obatan kimia yang perlu
dibeli mahal, cukup membuat sendiri dengan komponen microba yang sangat murah.
Menurut hitungan team kami bahkan setelah
sekitar 15 kali panen (5 tahun), pupuk-pupuk organic-pun tidak diperlukan sama
sekali. Tanah sudah kembali subur alami kembali ke pra PD II sebelum pupuk
kimia dikenal.
Kedua, melengkapi
pojok-pojok sawah petani dengan tanaman jangka panjang yang diambil buahnya.
Ide kami adalah bisa kurma, zaitun, anggur atau kombinasi diantaranya. Petani
hanya perlu menanam sekali tetapi akan terus memetik hasilnya sampai anak
turunan mereka.
Dengan dua langkah ini saja matematika petani
sudah akan jauh berubah. Dengan hasil yang dua kali lipat dan biaya yang
separuh dari sebelumnya, maka bertani sudah bisa kembali menarik.
Hasil dua kali lipat ini ditunjukkan oleh
beberapa kali panen padi organik kami di Boyolali yang berada di sekitar angka
12 ton/hektar atau 3 ton untuk tanah 0.25 hektar. Penjualan kotor padi petani
menjadi 3x3,000xRp 5,000 = Rp 45,000,000. Setelah dipotong biaya tenaga kerja
dan pupuk organik Rp 11,250,000, petani dengan 0.25 ha lahan akan memiliki
penghasilan bersih Rp 33.75 juta setahun atau rata-rata Rp 2,812,500 sebulan.
Dengan angka ini saja bertani sudah bisa
kembali lebih menarik ketimbang memaksakan diri menjual sawah untuk biaya anak
masuk menjadi pegawai. Hasil bertani akan semakin menarik, manakala pohon-pohon
jangka panjang yang ditanam tersebut mulai berbuah beberapa tahun kemudian.
Dari sinilah kami melihat masa depan cerah
bagi petani bisa kembali kita visikan. Bila masa depan petani cerah, maka
ketahanan pangan nasional-pun insyaAllah akan aman. Mudahkah ini? Tentu tidak, semuanya
membutuhkan kerja keras yang memerlukan kesabaran. Tetapi semua itu mungkin
dilakukan karena memang sudah dicoba. Lebih dari ikhtiar yang bersifat fisik,
masyarakat juga perlu diajak untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaannya
secara terus menerus. Hanya dengan iman dan takwa inilah negeri ini akan memperoleh keberkahanNya, dan di negeri yang
diberkahi, hasil panenan itu banyak dan enak (QS 2:58). InsyaAllah ada jalan, “There is A
will there is a way”.