Pengasah,Pengasuh dekat dengan Maha Pengasih
(Paku Buminya Ulama' Nusantara)
Sebuah kisah tentang penelitian para ahli
Amerika terhadap metode pendidikan di Pesantren. Mereka tercengang lantaran
metode mengajar dan mendidik santri yang setiap hari dilakoni oleh para Kyai
Pesantren NU ini benar-benar tidak masuk akal. Adalah KH.Bukhori Masruri muda,
yang saat itu menjadi saksi sejarah bagaimana para ahli riset dari Amerika itu
mendatangi pesantren-pesantren salaf di Pantura, dengan segenap keahlian meneliti dan kecakapan riset yang tak pernah dijumpai pada
orang Indonesia saat itu. Namun anehnya kesimpulan para peneliti Negeri Paman
Sam itu hanya satu, yakni tercengang. Bagaimana tidak, sebagaimana dikisahkan
Kyai Bukhori, disaat mereka mengunjungi Pesantren Al Hidayah di Lasem, meneliti
Kyai Ma'shum mengajar, yang ada hanyalah para santri yang menunggui Kyainya
yang bolak-balik ketiduran disaat mengajar. Jika tidak begitu, Kyai tersebut
hanya membaca teks arabnya tanpa menerangkan dan memaknainya, jika tidak
begitu, tiap halaman kitab yang dibuka tidak pernah urut, sering terloncati.
Namun bagaimana bisa, para santri yang pada akhirnya telah khatam ngajinya
begitu 'alim dan menguasai detail-detail ilmu kutubus salaf dan sangat
berpengaruh di masyarakat.
Ya, Kyai besar dan Wali Allah yang amat dihormati di kalangan umat Islam ini, yang biasa disapa Mbah Ma’shum, adalah salah satu dari dua Kyai besar asal Lasem,Rembang,Jawa Tengah selain Kyai Baidhowi Abdul Aziz. Beliau senantiasa menjalin silaturahmi, jujur, mengayomi, menghormati tamu dan teguh menjaga kebenaran. Seluruh hidupnya diabdikan kepada masyarakat, terutama kaum papa. Beliau bahkan menganggap pengabdian ini sebagai laku tarekatnya. Menurut Denys Lombard, ahli sejarah terkenal, “[Mbah Masum] adalah seorang guru (kyai) dari Lasem yang kurang dikenal di tingkat nasional, namun kematiannya pada tahun 1972 menimbulkan guncangan hebat dari satu ujung jaringan ke ujung jaringan lainnya.”
Ya, Kyai besar dan Wali Allah yang amat dihormati di kalangan umat Islam ini, yang biasa disapa Mbah Ma’shum, adalah salah satu dari dua Kyai besar asal Lasem,Rembang,Jawa Tengah selain Kyai Baidhowi Abdul Aziz. Beliau senantiasa menjalin silaturahmi, jujur, mengayomi, menghormati tamu dan teguh menjaga kebenaran. Seluruh hidupnya diabdikan kepada masyarakat, terutama kaum papa. Beliau bahkan menganggap pengabdian ini sebagai laku tarekatnya. Menurut Denys Lombard, ahli sejarah terkenal, “[Mbah Masum] adalah seorang guru (kyai) dari Lasem yang kurang dikenal di tingkat nasional, namun kematiannya pada tahun 1972 menimbulkan guncangan hebat dari satu ujung jaringan ke ujung jaringan lainnya.”
Nama aslinya
adalah Muhammadun, diperkirakan lahir sekitar tahun 1870. Ayahnya bernama
Ahmad, seorang saudagar. Dari jalur ayahnya, beliau masih punya hubungan darah
dengan Sultan Minangkabau, dan silsilahnya bersambung hingga ke Rasulullah. Ibunya
bernama Nyai Qosimah. Mbah Ma’shum punya dua saudara, yakni Nyai Zainab dan
Nyai Malichah. Sejak kecil Mbah Ma’shum telah dikirim ke beberapa pesantren
untuk mendalami ilmu agama, di antaranya kepada Kyai Nawawi Jepara, Kyai
Ridhwan Semarang, Kyai Umar Harun Sarang, Kyai Abdus Salam Kajen, Kyai Idris
Jamsasren Solo, Kyai Dimyati Termas, Kyai HASYIM ASY’ARI Jombang dan Kyai
KHOLIL BANGKALAN. Di Makkah beliau
berguru kepada Syekh Mahfudz al-Turmusi dari Termas. Tanda-tanda keutamaan Mbah
Ma’shum telah diketahui secara kasyaf oleh Mbah Kholil Bangkalan, seorang wali
Qutub yang amat masyhur. Dikisahkan, sehari sebelum kedatangan Mbah Ma’shum ke
Bangkalan, Mbah Kholil menyuruh para santri membuat kurungan ayam. Kata Mbah
Kholil, “Tolong aku dibuatkan kurungan ayam jago. Besok akan ada ayam jago dari
tanah Jawa yang datang ke sini.” Begitu Mbah Ma’shum datang, yang saat itu
usianya sekitar 20-an tahun, beliau langsung dimasukan ke kurungan ayam itu.
Mbah Ma’shum disuruh oleh Mbah Kholil untuk mengajar kitab Alfiyah selama 40
hari. Yang aneh, pengajaran dilakukan oleh Mbah Ma’shum di sebuah kamar tanpa
lampu, sedangkan santri-santrinya berada di luar. Mbah Ma’shum hanya 3 bulan di
Bangkalan. Ketika hendak pulang, Mbah Kholil memanggilnya dan didoakan dengan doa
sapujagad. Lalu, saat Mbah Ma’shum melangkah pergi beberapa meter, beliau
dipanggil lagi oleh Mbah Kholil dan didoakan dengan doa yang sama. Hal ini
terjadi berulang hingga 17 kali.
Mbah Ma’shum menikah dua kali – nama istri pertama ada beberapa versi, sedangkan istri kedua adalah Nyai Nuriyah. Putra pertama Mbah Ma’shum, Kyai Ali Ma’shum, kelak menjadi pemimpin Pesantren Munawwir Krapyak, Yogyakarta, dan menjadi salah satu tokoh NU yang terkenal di tingkat nasional.
Sejak muda Mbah Ma’shum sudah hidup zuhud. Beliau sempat menjadi pedagang baju hasil jahitan Nyai Nuri, juga berjualan nasi pecel, lampu petromak, sendok, garpu, konde dan peniti. Sembari berdagang beliau juga menyempatkan diri untuk mengajar umat dan secara rutin berkunjung ke Tebuireng untuk mengaji kepada Kyai Hasyim Asy’ari, walau dari segi usia Mbah Ma’shum lebih tua. Mbah Ma’shum berhenti berdagang setelah bermimpi bertemu Rasulullah beberapa kali, di mana Kanjeng Rasul menasihatinya agar meninggalkan perdagangan dan beralih menjadi pengajar umat. Mimpi itu terjadi di beberapa tempat – di stasiun Bojonegoro, saat antara tidur dan terjaga, beliau berjumpa Kanjeng Rasul yang memberinya nasihat La khayra illa fi nasyr al-ilmi (Tiada kebaikan kecuali menyebarkan ilmu). Beliau juga bermimpi bersalaman dengan Kanjeng Rasul, dan setelah bangun tangannya masih berbau wangi. Beliau juga bermimpi bertemu nabi sedang membawa daftar sumbangan untuk pembangunan pesantren, dan berpesan kepada Mbah Ma’shum, “Mengajarlah … dan segala kebutuhanmu Insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah.” Ketika dikonsultasikan dengan Kyai Hasyim Asy’ari, yang biasa memanggil Mbah Ma’shum dengan sebutan Kangmas Ma’shum karena sudah amat akrab, mengatakan mimpi itu sudah jelas dan tak perlu lagi ditafsirkan. Setelah mimpi-mimpinya itulah beliau menetap di Lasem dan istiqamah mengajar. Sebelum mendirikan pesantren, beliau berziarah dulu ke beberapa makam Wali Allah, seperti makam Habib Ahmad ibn Abdullah ibn Tholib Alatas, Sapuro, Pekalongan. Menurut Mbah Ma’shum, saat berziarah pada malam Jum’at, Habib Ahmad Alatas menemuinya dan memimpin doa bersama. Setelah itu Mbah Ma’shum keliling kota meminta sumbangan, dan berhasil mendapatkan sejumlah uang yang dibutuhkan untuk membangun pesantren. Selain ke makam Habib Ahmad, beliau juga sering mendatangi haul Habib Ali Kwitang, Jakarta, dan ke makam Mbah Jejeruk (Sultan Mahmud) di Binangun Lasem. Setiap kali berziarah ke makam Mbah Jejeruk ini Mbah Ma’shum selalu membaca Shalawat Nariyah 4444 kali dalam sekali duduk. Mbah Ma’shum juga istiqamah mengamalkan doa Nurun Nubuwwah selepas shalat Subuh dan Ashar. Setelah beberapa lama mengembangkan pondok, pesantrennya kemudian dinamakan Pesantren al-Hidayat. Tetapi agresi Belanda tahun 1949 membuat Mbah Ma’shum harus mengungsi, dan pesantren mengalami masa vakum sampai situasi tenang dan aman kembali.
Mbah Ma’shum menikah dua kali – nama istri pertama ada beberapa versi, sedangkan istri kedua adalah Nyai Nuriyah. Putra pertama Mbah Ma’shum, Kyai Ali Ma’shum, kelak menjadi pemimpin Pesantren Munawwir Krapyak, Yogyakarta, dan menjadi salah satu tokoh NU yang terkenal di tingkat nasional.
Sejak muda Mbah Ma’shum sudah hidup zuhud. Beliau sempat menjadi pedagang baju hasil jahitan Nyai Nuri, juga berjualan nasi pecel, lampu petromak, sendok, garpu, konde dan peniti. Sembari berdagang beliau juga menyempatkan diri untuk mengajar umat dan secara rutin berkunjung ke Tebuireng untuk mengaji kepada Kyai Hasyim Asy’ari, walau dari segi usia Mbah Ma’shum lebih tua. Mbah Ma’shum berhenti berdagang setelah bermimpi bertemu Rasulullah beberapa kali, di mana Kanjeng Rasul menasihatinya agar meninggalkan perdagangan dan beralih menjadi pengajar umat. Mimpi itu terjadi di beberapa tempat – di stasiun Bojonegoro, saat antara tidur dan terjaga, beliau berjumpa Kanjeng Rasul yang memberinya nasihat La khayra illa fi nasyr al-ilmi (Tiada kebaikan kecuali menyebarkan ilmu). Beliau juga bermimpi bersalaman dengan Kanjeng Rasul, dan setelah bangun tangannya masih berbau wangi. Beliau juga bermimpi bertemu nabi sedang membawa daftar sumbangan untuk pembangunan pesantren, dan berpesan kepada Mbah Ma’shum, “Mengajarlah … dan segala kebutuhanmu Insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah.” Ketika dikonsultasikan dengan Kyai Hasyim Asy’ari, yang biasa memanggil Mbah Ma’shum dengan sebutan Kangmas Ma’shum karena sudah amat akrab, mengatakan mimpi itu sudah jelas dan tak perlu lagi ditafsirkan. Setelah mimpi-mimpinya itulah beliau menetap di Lasem dan istiqamah mengajar. Sebelum mendirikan pesantren, beliau berziarah dulu ke beberapa makam Wali Allah, seperti makam Habib Ahmad ibn Abdullah ibn Tholib Alatas, Sapuro, Pekalongan. Menurut Mbah Ma’shum, saat berziarah pada malam Jum’at, Habib Ahmad Alatas menemuinya dan memimpin doa bersama. Setelah itu Mbah Ma’shum keliling kota meminta sumbangan, dan berhasil mendapatkan sejumlah uang yang dibutuhkan untuk membangun pesantren. Selain ke makam Habib Ahmad, beliau juga sering mendatangi haul Habib Ali Kwitang, Jakarta, dan ke makam Mbah Jejeruk (Sultan Mahmud) di Binangun Lasem. Setiap kali berziarah ke makam Mbah Jejeruk ini Mbah Ma’shum selalu membaca Shalawat Nariyah 4444 kali dalam sekali duduk. Mbah Ma’shum juga istiqamah mengamalkan doa Nurun Nubuwwah selepas shalat Subuh dan Ashar. Setelah beberapa lama mengembangkan pondok, pesantrennya kemudian dinamakan Pesantren al-Hidayat. Tetapi agresi Belanda tahun 1949 membuat Mbah Ma’shum harus mengungsi, dan pesantren mengalami masa vakum sampai situasi tenang dan aman kembali.
Mbah Ma’shum
selama mengajar banyak berperan aktif langsung dalam pendidikan santrinya.
Beliau juga memiliki kebiasaan mengajar beberapa kitab yang diajarkan
terus-menerus berulang-ulang – artinya jika kitab itu khatam, maka akan dimulai
lagi dari awal. Di antaranya adalah pelajaran al-Qur’an, Fathul Qarib, Fathul
Wahhab, Jurumiyah, Alfiyah, al-Hikam ibn Athaillah, dan Ihya Ulumuddin.
Mengenai kitab al-Hikam ini Mbah Ma’shum menyatakan bahwa beliau
mengkhatamkannya sebanyak usia beliau. Mengenai Kitab Ihya, beliau berujar,
“Saya khawatir kalau melihat santri yang belum pernah khatam kitab Ihya tapi
sudah berani memberikan pengajaran kepada umat; yah, semoga saja dia selamat …”
Fathul Wahhab juga dikhatamkan sebanyak usianya, sehingga beliau pernah berkata
bahwa ilmu Fiqh telah ada di dalam dadanya. Ketika beliau sudah berusia lanjut,
kebanyakan santri yang datang kepadanya umumnya punya tujuan utama tabarrukan,
atau mengambil barokah spiritualnya. Dalam mengajar santri Mbah Ma’shum amat
disiplin dan istiqamah, sebab istiqamah adalah lebih utama ketimbang seribu
karamah. Beliau juga tak segan-segan menegur khatib Jum’at yang khotbahnya
terlalu lama dengan cara bertepuk tangan. Banyak muridnya yang menjadi kyai
besar, seperti KH. Abdullah
Faqih Langitan, Kyai Abdul
Jalil Pasuruan, Kyai Ahmad Saikhu Jakarta, KH. Bisri Mustofa Rembang, Kyai Fuad Hasyim Buntet Cirebon, dan masih
banyak lagi.
Sebagai kyai
NU beliau juga gigih berjuang mendukung membesarkan NU bersama kyai-kyai
lainnya. Beliau amat mencintai organisasi ini, sehingga beliau menyatakan tidak
ridho jika anak keturunannya tidak mengikuti NU. Bahkan Mbah Ma’shum sendiri
selalu didatangi oleh banyak kyai jika ada urusan penting di tubuh NU untuk
meminta nasihat dan doanya. Misalnya ketika hangat-hangatnya pembentukan
Jam’iyyah Thariqah al-Mu’tabarah al-Nahdliyah, Mbah Ma’shum termasuk yang
setuju, dan bahkan menjadi salah satu “petinggi” organisasi tarekat itu,
walaupun beliau sendiri tidak mengamalkan praktik-praktik tarekat. Menurutnya,
“Saya sudah menggunakan tarekat langsung dari Kanjeng Nabi Muhammad, yakni
berupa Hubb al-Fuqara wa al-Masakin (mencintai kaum fakir miskin)”. Selain itu banyak pula tokoh lain yang sowan kepada beliau guna
meminta doa restu. Hal ini juga dilakukan oleh Profesor Kyai Haji Mukti Ali
saat diangkat menjadi menteri agama. Mbah Ma’shum bersedia mendoakan Mukti Ali
jika dia mau mengikuti sarannya, yang salah satunya menunjukkan kebesaran
jiwanya: “Engkau jangan sekali-kali membenci NU. Sebab membenci NU sama dengan
membenci aku karena NU itu saya yang mendirikan bersama-sama ulama lain. Tetapi
engkau pun jangan membenci Muhamadiyyah. Jangan pula membenci PNI dan partai
lain … Kau harus dapat berdiri di tengah-tengah dan berbuat adil terhadap
mereka.” Ketika pecah huru-hara PKI Mbah Ma’shum terpaksa melakukan perjalanan
dari kota ke kota, karena beliau termasuk tokoh yang diincar hendak dibunuh
oleh PKI.
Mbah Ma’shum
wafat pada 28 April 1972 (14 Robiul Awal 1392 H) jam 2 siang, setelah shalat
Jum’at. Upacara pemakamannya dibanjiri massa yang ingin memberikan penghormatan
terakhir. Pemakamannya dihadiri oleh banyak tokoh ulama, petinggi partai
politik dan pejabat pemerintah.
Karamah
Sebagaimana umumnya para Wali Allah, Mbah Ma’shum juga dikaruniai karamah. Beliau tahu kapan dirinya akan meninggal. Ketika Kyai Baidhowi wafat pada 11 Desember 1970, Mbah Ma’shum menyatakan bahwa 2 tahun lagi dirinya akan wafat – pernyataan ini menjadi kenyataan. Menurut seorang saksi, Mbah Ma’shum ketika di depan jenazah Mbah Baidhowi, beliau seperti berbicara dengan almarhum, dan berkata, “Ya, 2 tahun lagi saya akan menyusul.”
Karamah
Sebagaimana umumnya para Wali Allah, Mbah Ma’shum juga dikaruniai karamah. Beliau tahu kapan dirinya akan meninggal. Ketika Kyai Baidhowi wafat pada 11 Desember 1970, Mbah Ma’shum menyatakan bahwa 2 tahun lagi dirinya akan wafat – pernyataan ini menjadi kenyataan. Menurut seorang saksi, Mbah Ma’shum ketika di depan jenazah Mbah Baidhowi, beliau seperti berbicara dengan almarhum, dan berkata, “Ya, 2 tahun lagi saya akan menyusul.”
Karamah
lainnya adalah firasat yang tajam, mengetahui isi pikiran orang. Ada satu kisah
karamah lain yang menunjukkan ketinggian kedudukan spiritualnya. Dikisahkan
bahwa suatu waktu seusai shalat Dhuha, beliau dipijiti oleh santrinya yang
bernama Ahmad hingga tertidur. Mendadak di luar kamar terdengar ada tamu
menyampaikan salam. Ada sembilan orang tamu berwajah habaib, duduk melingkar di
ruang tamu. “Mbah Ma’shum ada?” tanya salah satu dari mereka. Oleh Ahmad
dijawab masih tidur, sambil menawarkan untuk membangunkannya. “Tidak usah,”
kata tamu itu. Lalu para tamu itu berbicara satu sama lain dengan bahasa yang
aneh, kemudian mereka membaca shalawat lalu berpamitan. Begitu para tamu
beranjak keluar, Mbah Ma’shum memanggil Ahmad. “Ada apa Mad?” Setelah
dijelaskan, Mbah Ma’shum menyuruh Ahmad memanggil tamunya itu. Namun dalam
waktu sesingkat itu para tamu itu sudah menghilang. Kemudian Mbah Ma’shum
memberi tahu bahwa mereka adalah Wali Songo, dan yang berbicara tadi adalah
Sunan Ampel. Setelah memberi tahu jati diri mereka, Mbah Ma’shum tidur lagi.
Mbah Ma’Shum juga terkenal dg sebutan Kyai Bulus yg artinya mengajar murid2nya tanpa di sertai keterangan2 yg di perlukan si Murid, Beliau hanya membaca Kitab dg memaknai perkalimat saja, itupun dg suara yg gak jelas (Nggremeng bahasa jawanya).
Mbah Ma’Shum juga terkenal dg sebutan Kyai Bulus yg artinya mengajar murid2nya tanpa di sertai keterangan2 yg di perlukan si Murid, Beliau hanya membaca Kitab dg memaknai perkalimat saja, itupun dg suara yg gak jelas (Nggremeng bahasa jawanya).
Yg penting di
baca, faham gak faham ya silahkan, seakan Murid2 Beliau setelah di ajar di
tinggalkan begitu saja, sama seperti Bulus (Kura2) yg bertelur di pantai di
biarkan begitu saja tanpa di erami menetas sendiri. Namun Anehnya Murid2 Beliau mempunyai kefahaman yg lebih dari ketika
ngaji di selain Kyai yg satu ini.
Kisah lainnya
adalah ketika Mbah Ma’shum kehabisan persediaan beras. Lalu Mbah Ma’shum
memimpin istighasah dengan membaca petikan sajak dari syair al-Burdah – Wahai
makhluk paling mulia (Muhammad), aku tak ada tempat berlindung kecuali kepadamu
pada peristiwa malapetaka besar – sebanyak (kurang lebih) 80 kali, dan
dilanjutkan doa memohon rezeki … dan pada saat itu seorang peserta, Ibu
Nadhiroh menyela, “Amin, mbah, [beras] 1 ton ..” Mbah Ma’shum membalas: “tidak
1 ton, tapi lebih.” Beberapa hari kemudian datang beberapa orang memberi beras
yang banyak sekali. Karamah mendatangkan beras ini sering terjadi. Dalam
riwayat lain diceritakan Mbah Ma’shum pada suatu pagi seusai mengajar Alfiyah
memanggil 12 santrinya, mengajak mereka mengamini doanya. Doanya sederhana
saja, tanpa mukadimah dan tanpa penutup: “Ya Allah gusti, saya minta beras …”
Jam 11 siang datang becak mengantar beberapa karung beras. Pada karung itu
tertulis nama alamatnya pengirim dari Banyuwangi. Suatu ketika Mbah Ma’shum
mengunjungi alamat itu, dan ternyata alamat itu adalah sepetak kebun pisang di
daerah pedalaman dan di situ masyarakatnya tidak ada yang kelebihan rezeki sama
sekali.