A.
TINJAUAN
PUSTAKA
1.
Definisi
Diversifikasi
Pangan
Terdapat
berbagai pengertian tentang diversifikasi pangan. Menurut Rencana Aksi
Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015, penganekaragaman pangan atau diversifikasi
pangan adalah upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi
seimbang.
Diversifikasi
pangan menurut Peraturan Pemerintah Nomor. 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan
Pangan adalah upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi
seimbang. Prinsip dasar dari diversifikasi konsumsi pangan adalah bahwa tidak
satupun komoditas atau jenis pangan yang memenuhi unsur gizi secara keseluruhan
yang diperlukan oleh tubuh. Namun, dengan adanya peranan pangan sebagai pangan
fungsional seperti adanya serat, zat antioksidan dan lain sebagainya sehingga
dalam memilih jenis makanan tidak hanya mempertimbangkan unsure gizi seperti
kandungan energy protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral tetapi juga
mempertimbangkan pangan dengan peranan sebagai pangan fungsional.
Menurut
Suhardjo dan Martianto dalam Budiningsih (2009) semakin beragam konsumsi pangan
maka kualitas pangan yang dikonsumsi semakin baik. Oleh karena itu dimensi
diversifikasi pangan tidak hanya terbatas pada pada diversifikasi konsumsi
makanan pokok saja, tetapi juga makanan pendamping.
Soetrisno
dalam Budiningsih (2009) mendefinisikan diversifikasi pangan lebih sempit
(dalam konteks konsumsi pangan) yaitu sebagai upaya menganekaragamkan jenis
pangan yang dikonsumsi, mencakup pangan sumber energi dan zat gizi, sehingga
memenuhi kebutuhan akan pangan dan gizi sesuai dengan kecukupan baik ditinjau
dari kuantitas maupun kualitasnya.
Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1998
menyebutkan pengertian tentang diversifikasi pangan sebagai berikut:
1. Diversifikasi
pangan dalam rangka pemantapan produksi padi. Hal ini dimaksudkan agar laju
peningkatan konsumsi beras dapat dikendalikan, setidaknya seimbang dengan
kemampuan peningkatan produksi beras.
2. Diversifikasi
pangan dalam rangka memperbaiki mutu gizi makanan penduduk sehari-hari agar
lebih beragam dan seimbang.
Menurut Hafsah dalam Widowati dan
Darmardjati dalam Supadi (2004), pangan perlu beragam karena beberapa alasan,
yaitu:
1. Mengkonsumsi
pangan yang beragam adalah alternative terbaik untuk pengembangan sumber daya
manusia berkualitas
2. Meningkatkan
optimalisasi pemanfaatan sumber daya pertanian dan kehutanan
3. Memproduksi
pangan yang beragam mengurangi ketergantungan kepada impor pangan
4. Mewujudkan
ketahanan pangan yang merupakan kewajiban bersama pemerintah dan masyarakat.
Diversifikasi
pangan tidak dimaksudkan untuk menggantikan beras, tetapi mengubah pola
konsumsi masyarakat sehingga masyarakat akan mengkonsumsi lebih banyak jenis
pangan dan lebih baik gizinya. Dengan menambah jenis pangan dalam pola konsumsi
diharapkan konsumsi beras akan menurun.
2.
Manfaat
Diversikasi
Pangan
Pada
saat ini mayoritas masyarakat hanya mengkonsumsi bahan pangan tertentu,
sehingga ragam makanan yang dikonsumsi pun menjadi terbatas begitu pula gizi
yang diperoleh dari makanan tersebut. Manfaat diversifikasi pada sisi
konsumsi adalah semakin beragamnya asupan zat gizi, baik makro maupunmikro,
untuk menunjang pertumbuhan, daya tahan, dan produktivitas fisik masyarakat. Keragaman
pangan juga meningkatkan asupan zat-zat antioksidan,
serat, serta penawar terhadap senyawa yang merugikan kesehatan seperti kolesterol.
Di
samping itu, keragaman juga memberikan lebih banyak pilihan kepada masyarakat untuk memperoleh
pangan sesuai preferensinya. Manfaat
diversifikasi dari aspek penyediaan adalah semakin beragamnya alternatif jenis pangan yang dapat
ditawarkan, tidak terfokus pada pangan tertentu
saja.
3.
Faktor
yang Mempengaruhi Diversifikasi Pangan
Penganekaragaman
konsumsi pangan dan gizi dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain : faktor
yang bersifat internal (individual) seperti pendapatan, preferensi, keyakinan
(budaya dan religi), serta pengetahuan gizi, maupun faktor eksternal seperti
faktor agro-ekologi, produksi, ketersediaan dan distribusi, anekaragam pangan,
serta promosi/iklan.(Suryana)
4.
Bahan Pangan Substitusi
Makanan
pokok adalah makanan yang menjadi gizi dasar. Bahan pangan substitusi adalah
bahn makanan pengganti makanan pokok. Walaupun kandungan gizinya tidak sama
persis dengan kandungan gizi pada makanan pokok, bahan panangan substitusi ini
masih memiliki kandungan gizi yang sebagian besar mirip dengan bahan makanan
pokok. Contoh dari makanan pokok adalah beras namun saat ini makanan pokok
(beras) tersebut dapat digantikan dengan bahan makanan lain seperti jagung,
gandum, serealia, ubi-ubian dan lain sebagainya.
5.
Macam-Macam
Bahan Pangan Substitusi
1. Jagung
Adalah
tanaman golongan rumputan kedua yang paling luas dibididayakan di Indonesia
setelah padi. Komoditas ini memiliki potensi untuk menyangga kebutuhan pangan
non beras karena kandungan terbesar biji jagung adalah karbohidrat, dan
potensial digunakan sebagai bahan baku industri.
2. Ubi
Kayu atau Singkong
Ketela
pohon menjadi bahan pokok stelah beras dan jagung. Di beberapa tempat, tanaman
ubi kayu ini dianggap sebagai cadangan pangan dan lumbung hidup. Umbi singkong
merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat namun sangat miskin protein.
3. Ubi
jalar (Ketela Rambat)
Adalah
sejenis tanaman budidaya. Bagian yang dimanfaatkan adalah akarnya yang
membentuk umbi dengan kadar gizi (karbohidrat) yang tinggi.
6.
Bahan
Pangan Pengganti Kedelai
Kedelai
adalah salah satu komoditi pangan utama setelah padi dan jagung. Kedelai
merupakan bahan pangan sumber protein nabati utama bagi masyarakat. Kedelai
mengandung protein 35% bahkan pada varitas unggul kadar proteinnya dapat
mencapai 40-43%. Dibandingkan dengan beras, jagung, tepung singkong, kacang
hijau, daging, ikan segar, dan telur ayam, kedelai mempunyai kandungan protein
yang lebih tinggi, hampir menyamai kadar protein susu skim kering.
Kacang
Kedelai mengandung energi sebesar 381 kilokalori, protein 40,4 gram,
karbohidrat 24,9 gram, lemak 16,7 gram, kalsium 222 miligram, fosfor 682
miligram, dan zat besi 10 miligram. Selain itu di dalam Kacang Kedelai
juga terkandung vitamin A sebanyak 0 IU, vitamin B1 0,52 miligram dan vitamin C
121,7 miligram. Hasil tersebut didapat dari melakukan penelitian terhadap
100 gram Kacang Kedelai, dengan jumlah yang dapat dimakan sebanyak 100 %
Menteri
Pertanian Anton Apriantono di Manado, pada tahun 2010 dalam sebuah acara seminar Pengembangan Kelapa,
kerjasama dengan Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado dan Komisi IV DPR
RI. mengatakan, Pasokan impor kedelai dari luar
negeri sebanyak 1,2 juta ton setiap tahun, sementara kebutuhan riil konsumsi
masyarakat akan kebutuhan tumbuhan nutrisi itu sebanyak dua juta ton. Dari uraian tersebut diketahui bahwa impor kedelai untuk memenuhi
kebutuhan pangan di Indonesia mencapai 70%, itu merupakan angka yang cukup
besar. Oleh karena itu perlu adanya diversifikasi bahan pangan kedelai akan
dipacu bersama dengan berbagai komoditi unggulan lain, seperti jagung dan padi,
agar ketergantungan bahan pangan impor menjadi berkurang. Diversifikasi bahan pangan kedelai dapat
dilakukan dengan cara mengganti bahan pangan yang terbuat dari kedelai diganti
dengan bahan pangan substitusi yang masih memiliki kandungan gizi hampir sama
dengan kedelai, diantaranya:
1. Kacang
tunggak
Kacang
tunggak dapat dikonsumsi pada setiap tahap pertumbuhannyasebagai sayuran.
Daunnya yang bertekstur lembut merupakan sumber makanan penting di Afrika
dan disajikan sebagai sayuran hijau seperti bayam. Polongmudanya seringkali
dicampur dengan bahan makanan lainnya. biji kacangtunggak yang berwarna hijau
biasa direbus sebagai sayuran segar, atau juga dapatdikemas dalam kaleng atau
dibekukan. Biji kering yang telah matang pun dapatdirebus ataupun diolah
sebagai bahan-bahan makanan kalengan (Davis 1991)
Biji
kacang tunggak yang telah matang pada pengukuran 100 g mengandung 10 g air, 22
g protein, 1,4 g lemak, 51 g karbohidrat, 3,7 g vitamin,3,7 g karbon, 104 mg
kalsium dan nutrisi lainnya. Energi yang dihasilkannyasekitarnya sekitar 1420
kj/100 g. Pada biji yang masih muda dalam 100 gmengandung 88,3 air, 3 g
protein, 0,2 g lemak, 7,9 g karbohidrat, 1,6 vitamin, 0,6 karbon, dan energi
yang dihasilkannya sekitar 155 kj/100 g (Van der Maesen dan Somaatmaja, 1993).
2. Kacang
Gude
Kacang
Gude adalah bahan makanan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat
Indonesia. Kacang Gude mengandung energi sebesar 336 kilokalori, protein
20,7 gram, karbohidrat 62 gram, lemak 1,4 gram, kalsium 125 miligram, fosfor
275 miligram, dan zat besi 4 miligram. Selain itu di dalam Kacang Gude
juga terkandung vitamin A sebanyak 150 IU, vitamin B1 0,48 miligram dan vitamin
C 5 miligram. Hasil tersebut didapat dari melakukan penelitian terhadap
100 gram Kacang Gude, dengan jumlah yang dapat dimakan sebanyak 100 %.
7.
Hambatan
Dalam Diversifikasi Pangan
Upaya
penganekaragaman atau diversifikasi konsumsi pangan walaupun sudah dicanangkan
sejak lama, namun hingga saat ini masih belum berjalan sesuai dengan yang
diharapkan. Dari sisi kualitas, konsumsi penduduk Indonesia masih rendah,
kurang beragam dan masih didominasi oleh pangan sumber karbohidrat terutama
dari padi-padian.
Permasalahan
utama diversifikasi pangan adalah ketidakseimbangan antara pola konsumsi pangan
dengan penyediaan produksi atau ketersediaan pangan di masyarakat. Produksi
berbagai jenis pangan tidak dapat dihasilkan oleh semua wilayah dan tidak dapat
dihasilkan pada setiap saat dibutuhkan. Sementara konsumsi dilakukan oleh semua
penduduk setiap saat. Menurut Anang dalam Supadi (2004), kendala pengembangan
diversifikasi pangan adalah sebagai berikut:
1. Pangan
non-beras (jagung, sorghum, dan umbi-umbian) adalah pangan inferior, berkurang
tingkat konsumsinya seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Banyak
orang memandang bahwa beras sebagai bahan pangan mempunyai status yang lebih
tinggi dari pada jagung, sorghum, dan umbi-umbian. Kondisi ini menimbulkan
anggapan bahwa apabila beralih kepada bahan pangan jagung, shorgum, dan
umbi-umbian sebagai pengganti sebagian beras yang dimakan, akan merupakan suatu
kemunduran.
2. Kebanyakan
komoditas pangan non beras tidak siap dikonsumsi secara langsung.
3. Untuk
mendorong kembali ke menu makanan tradisional harus disesuakan dengan
perkembangan zaman.
4. Upaya
diversifikasi pangan hingga kini belum memberikan hasil
yang memuaskan. Produksi tanaman pangan masih sangat didominasi oleh beras.
5. Upaya
diversifikasi konsumsi pangan melalui kebijakan harga dan subsidi banyak
mengalami kesulitan. Hal ini dapat dilihat dari kecilnya kemungkinan konsumen
untuk melakukan substitusi pangan dari beras ke non beras (jagung atau ubi
kayu). Sebsidi memerlukan biaya besar, sedangkan penerima subsidi mungkin dari
golongan orang yang berpendapatan menengah ke atas.
Selain
itu, masih banyak masalah yang dihadapi dalam distribusi pangan untuk menjamin
upaya penganekaragaman konsumsi pangan, antara lain menyangkut sarana
transportasi (jalan, angkutan), pergudangan, sarana penyimpanan dan teknologi
pengolahan untuk memudahkan distribusi pangan antarwilayah. Pengembangan
penganekaragaman konsumsi pangan penduduk juga tidak lepas dari tingkat
pengetahuan tentang pangan dan gizi. Hal ini terkait dengan masalah bahwa baik
kekurangan maupun kelebihan pangan dan gizi akan menimbulkan masalah kesehatan
(Rachman dan Mewa dalam Lastinawati, 2010: 5).
Khusus
untuk padi, upaya peningkatan produksi ke dapan nampaknya akan mengalami kesulitan
karena berbagai faktor, di antaranya:
1. Penurunan
luas baku lahan sawah.
Konversi
besar-besaran lahan pertenian ke non pertanian menambah buruk kondisi pangan di
Indonesia. Keterbatasan jumlah lahan berakibat pada kinerja para penggarap
lahan, di mana hanya menggarap sedikit lahan dan kesejahteraannya belum tentu
terjamin. Sedangkan tuntutan kepada pertanian untuk menghasilkan komoditi
pangan sangat besar mengingat populasi penduduk Indonesia yang semakin
meningkat.
2. Penurunan
kesuburan lahan
Penurunan
kesuburan lahan ini bisa diakibatkan oleh adanya sistem cocok tanam yang tidak
memperhatikan kesuburan tanah. Misalnya sistem pertanian dengan cara setelah
dilakukan pemanenan, sisa tanaman yang ada di lahan tersebut di bakar (ladang
berpindah), sihingga mengakibatkan unsure hara yang ada dalam tanah tersebut
menjadi berkurang. Selain itu, penggunaan bahan kimia atau pupuk yang
berlebihan juga dapat mempengaruhi kesuburan tanah.
3. Penurunan
kualitas dan luas layanan sistem irigasi
Penurunan
kualitas sistem irigasi ini dapat ditinjau dari kanduangan air yang digunakan
sebagai air irigasi. Air yang dialirkan pada lahan-lahan pertanian sebagian
besar mengandung zat-zat kimia berbahaya yang diperoleh dari aliran air dari
rumah tangga. Dengan kualitas air irigasi yang rendah, dapat mengakibatkan
produksi terhadap bahan pangan bisa terhambat dan menurun.
4. Lambannya
adopsi teknologi petani
Pada
saat ini penggarap lahan pertanian kebanyakan adalah orang-orang dengan tingkat
pendidikan rendah. Biasanya tata cara bertani diperoleh dari orang-orang yang
menggarap lahan tersebut sebelum mereka secara turun-temurun. Teknologi
pertanian yang semakin canggih, mengakibatkan petani enggan untuk
mengaplikasikan teknologi tersebut karena dianggap terlalu rumit.
5. Kebijakan
intensif yang tidak efektif
6. Peningkatan
jumlah petani gurem
7. Masih
tingginya kehilangan hasil
Kehilangan
hasil pertanian bisa terjadi pada proses-proses penanganan pasca panen.
Misalnya pada saat, pemanenan, pemilahan, pengemasan, distribusi, pengangkutan,
hingga sampai ke tangan konsumen.
8.
Upaya
Percepatan Diversifikasi Pangan
Pada
perkembangan terakhir, Departemen Pertanian mengupayakan percepatan
diversifikasi pangan yang diharapkan tercapai pada tahun 2015 melalui dua
tahap, yaitu Tahap I tahun 2007-2010 dan Tahap II tahun 2011-2015. Untuk kurun
waktu tahun 2007-2010 kegiatan difokuskan kepada penciptaan pasar domestik
untuk pangan olahan sumber karbohidrat non beras, sayuran dan buah, serta
pangan sumber protein nabati dan hewani melalui suatu kegiatan konstruksi
social proses internalisasi diversifikasi konsumsi pangan yang dilaksanakan
melalui peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap aneka ragam pangan
melalui pengembangan bisnis pangan. Kurun waktu 2011-2015 difokuskan pada
penguatan kampanye nasional diversifikasi konsumsi dan pendidikan gizi seimbang
di sekolah dan masyarakat sejak usia dini (Badan Ketahanan Pangan dalam
Lastinawati, 2010).
1.
Terdapat empat
kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu;
Kampanye nasional
diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumberdaya pangan local baik untuk
aparat pemerintahan tingkat pusat dan daerah, individu, kelompok masyarakat maupun
industri.
2. Pendidikan
diversifikasi konsumsi pangan secara sistematis sejak dini.
3. Peningkatan
kesadaran masyarakat untuk tidak memproduksi, menyediakan atau memperdagangkan,
mengkonsumsi pangan yang tidak aman.
4. Fasilitas
pengembangan bisnis pangan melalui fasilitasi pengembangan aneka pangan segar,
industry pangan olahan dan pangan siap saji berbasis sumber daya lokal.
II. PEMBAHASAN
Indonesia
adalah negara yang dianugerahi kekayaan alam yang berlimpah dengan sumber daya
alam yang dihasilkan beragam dan bermutu serta tanahnya yang subur sehingga
baik untuk ditanami berbagai jenis tanaman terutama jenis palawija. Namun
pemanfaatan tanaman palawija yang beraneka ragam tersebut kurang maksimal,
karena kurang pengetahuan tentang teknologi penanaman dan kecenderungan
terhadap jenis tanaman tertentu. Karena hanya tergantung dengan satu jenis
tanaman tertentu untuk pemenuhan gizi tertentu menimbulkan peningkatan
kebutuhan terhadap jenis pangan yang berasal dari jenis tanaman tersebut.
Masyarakat menganggap bahwa pemenuhan zat gizi tertentu sudah cukup dari satu
jenis makanan saja. Sedangkan berdasarkan analisis kandungan zat gizi, tidak
ada satu jenis pangan pun yang mengandung zat gizi lengkap yang mampu memenuhi
semua zat gizi yang dibutuhkan manusia. Satu bahan pangan mungkin kaya akan zat
gizi tertentu, namun kurang mengandung zat gizi lainnya. Padahal untuk dapat
hidup sehat, seseorang paling tidak memerlukan 40 jenis zat gizi yang diperoleh
dari makanan. Sehingga untuk memenuhi kelengkapan zat gizi dan agar berbagai
tanaman sumber pangan dapat diolah dan dimanfaatkan, diversifikasi pangan
sangat perlu untuk diterapkan.
Diversifikasi
pangan sendiri merupakan bentuk penganekaragaman pangan mencakup peningkatan
jenis dan ragam pangan, baik dalam bentuk komoditas (bahan pangan), pangan
semiolahan dan olahan, maupun pangan siap saji. Pendekatan penganekaragaman
tersebut dalam program pembangunan nasional dikenal dengan istilah
diversifikasi horisontal dan vertikal. Melalui pengembangan budi daya berbagai
komoditas pangan (diversifikasi horisontal) akan dihasilkan beragam bahan
pangan seperti kacang tunggak, gude, koro, dan komak. Dengan pengembangan aneka
produk pangan olahan akan dihasilkan produk seperti tempe, tahu, susu, dan
kecap (diversifikasi vertikal).
A.
Keterkaitan Jurnal dengan Tinjauan Pustaka
Di
dalam jurnal yang telah dilampirkan pengarang mengambil contoh kacang-kacangan
lokal untuk mendukung diversifikasi pangan di Indonesia. Pada tinjauan
pustaka telah dibahas bahwa Indonesia mengimpor serealia khususnya kedelai
sebesar 70% hal tersebut dikarenakan kuantitas kedelai dalam negeri tidak mampu
mencukupi kebutuhan kedelai yang diminta masyarakat. Untuk itu perlu adanya
diversifikasi kedelai agar kebutuhan kedelai dalam negeri tercukupi. Banyak hal
yang dilakukan dalam pertanian untuk mendukung diversifikasi kedelai
diantaranya menggunakan atau memanfaatkan kacang-kacangan lokal diantaranya
kacang tunggak dan kacang gude sebagai substitusi kedelai. Walaupun kandungan
gizi kacang tunggak dan kacang gude tidak sama persis dengan kandungan gizi
kacang kedelai, namun kedua kacang tersebut dapat digunakan sebagai alternatif
pengganti kacang kedelai. Perbandingan kandungan gizi antara kacang kedelai,
kacang tunggak, dan kacang gude per 100 g adalah sebagai berikut:
Jenis
kacang
|
Protein
|
Karbohidrat
|
Lemak
|
Kacang
kedelai
|
40,4
g
|
24,9
g
|
16,7
g
|
Kacang
tunggak
|
22
g
|
51
g
|
1,4
g
|
Kacang
gude
|
20,7
g
|
62
g
|
1,4
g
|
Substitusi
kedelai dengan kacang gude hingga 30% menghasilkan tempe yang diterima konsumen
(Indrasari et al. 1992). Kacang tunggak tanpa dicampur kedelai dapat
menghasilkan tempe dengan kualitas yang baik. Kacang tunggak, setelah diolah
menjadi tempe, mempunyai kandungan nutrisi yang cukup tinggi. Setiap 100 g
tempe kacang tunggak mengandung protein 34 g, lemak 3 g, karbohidrat 53 g,
serat 3 g, dan abu 1 g. Kandungan asam amino esensial (asam amino yang tidak
dapat disintesis tubuh) pada kacang tunggak relatif sama dengan kedelai. Asam
ferulat yang terkandung dalam tempe mampu menurunkan tekanan darah dan
kandungan glukosa darah. Senyawa fenilpropanoid lainnya, yaitu asap p-koumarik
mampu melemahkan zat nitrosamin yang menjadi salah satu penyebab penyakit kanker.
Saat
ini masyarakat belum terbiasa mengonsumsi tempe selain dari kedelai. Produsen
juga perlu diinformasikan bahwa substitusi kedelai dengan kacang-kacangan lokal
bukan merupakan pemalsuan. Sosialisasi dapat dilakukan dengan memberdayakan
peran penyuluh.
B.
Faktor yang
Menghambat Diversifikasi Kedelai
Faktor
yang mengambat diversifikasi kedelai diantanya:
1. Salah
satu faktor penyebab petani enggan membudidayakan kacang-kacangan lokal adalah
terbatasnya pengetahuan dan kemampuan dalam mengolah maupun memanfaatkannya.
Pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan penduduk juga tidak lepas dari
tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi. Oleh karena itu,
teknologi pengolahan dan pemanfaatan kacang-kacangan lokal perlu terus
dikembangkan.
2. Kebanyakan
komoditas pangan non kedelai tidak siap dikonsumsi secara langsung.
3. Upaya
diversifikasi pangan hingga kini belum memberikan hasil yang memuaskan.
Produksi tanaman pangan masih sangat didominasi oleh kedelai.