Pelajaran sudah berjalan empat bulan. Teman-teman sekelas telah mahir menulis. Yusuf, teman sebangku denganku, bahkan telah mampu menulis sampai beberapa halaman buku full. Dia memang sudah bisa menulis sejak taman kanak-kanak. Tapi aku? Hingga kini aku masih belum mampu menulis. Aku sulit sekali mengeja kempulan huruf-huruf atau kata dan kalimat. Dalam menulis aku seringkali mengurangi susunan hurufnya seperti halnya menulis bekerja biasanya ditulis dengan bekeja, mencerminkan dialog. Susah sekali.
Bukan itu saja. Saat aku membuka buku dan berusaha membaca kata demi kata, huruf-huruf kulihat menari-nari. Mereka mengajakku berdansa, menghilangkan kepedihan yang bergelayut di kepala. Membawaku ke alam bebas, di mana burung-burung terbang melayang-layang, di mana air sungai mengalir gemericik, di mana angin bertiup spoi, dan induk burung emprit memberi makan anak-anaknya yang mulutnya terbuka lebar. Mereka juga membawaku terbang ke planet Mars, Saturnus, Uranus hingga Pluto.
Aku merasa nyaman dan tertawa. Tapi guru yang melihatku merasa heran.
“Ayo, Mim! Ini tulisannya apa?” seru Bu Siti sambil mengerutkan kening.
Aku tidak bisa menjawab. Mulutku seperti terkunci.
Dan kejadian itu tidak sekali-dua kali. Melainkan berkali-kali. Hingga Bu Siti telah sampai di ujung kesabaran. Aku dihukum berdiri di depan kelas, Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku tidak tahu kelainan apa yang kuderita. Di setiap pelajaran yang selalu berupa penulisan huruf-huruf dan kata-kata aku merasa letih. Pelajaran selalu membosankan. Saat pelajaran aku lebih senang melihat keluar dari balik jendela. Dalam bingkai jendela itu aku bisa melihat dunia yang hidup. Angin kurasakan bergerak. Daun-daun pepohonan bergoyang-goyang. Awan putih dengan latar langit biru berarak-arakan. Dan burung-burung mungil meloncat dari dahan ke dahan, berkicau bersaut-sautan. Dunia benar-benar terasa hidup.
Bagi guru, aku ini mungkin dianggap sebagai anak nakal yang bodoh dan sama sekali tidak memperdulikan pelajaran. Bayangkan, saat guru menerangkan dengan sekuat tenaga dan membimbing kami mengeja, dan menyusun tulisan jadi kata dan kalimat, aku malah asyik melihat pemandangan yang berbingkai jendela itu. Aku asyik bermain-main, tertawa, bersama burung-burung camar yang berteriak-teriak di angkasa. Aku tak punya sayap, tapi dengan melihat jendela, aku bisa terbang bersama awan putih, merasai belainan angin yang begitu lembut, dan menukik laksana elang menangkap buruan. Aku tak tahu, aku ini apa, dan mengapa.
Suatu hari orang tuaku dipanggil ke sekolah. Aku menguping pembicaraan Ibu dan Bu Siti untuk tahu apa sebenarnya yang terjadi padaku.
“Maaf, Bu! Sepertinya Hamim mengalami keterbelakangan mental,” kata Bu Siti.
Ibu hanya diam. Ia nampak tidak bisa menerima kenyataan ini. “Sepertinya tidak mungkin. Ibu normal. Ayah juga normal.Lalu aku mengalami keterbelakangan mental? , apa benar dan mengapa ya?
“Ya, Bu Siti,” kata ibuku lirih. “Lalu, apa saran Bu Siti?”
Bu Siti menarik nafas panjang dan melepaskannya dengan berat. “Saran saya, Hamim dipindahkan ke Sekolah Luar Biasa (Sekolah Inklusi) saja!”
Ibu terdiam cukup lama saat itu. Kenyataan yang didengarnya dari guru kelasku itu sungguh memukull hatinya. Lalu suara Bu Siti seolah menimbulkan gaung di ruang hatinya. Cukup lama gaung itu terjadi.
Ibu keluar dari Ruang Bimbingan dan Konseling (BP) dengan lunglai. Andai aku bisa menghiburnya, aku akan menghiburnya untuk menghembus kabut kedukaan yang menyelimutinya.
Ibu tentu masih belum membicarakan masalahku ini pada Ayah sebab Ayah masih di luar kota mengurus bisnis dan kerjaannya. Mungkin Ayah datang tiga hari lagi. Jeda tiga hari ini merupakan kesempatan bagiku untuk tetap bisa berada di sekolah seperti biasanya sebelum nanti aku dipindah ke Sekolah Inklusi.
*********
“Bapak penggantinya Bu Siti yang sedang cuti hamil. Nama Bapak Ubaid. Biar terdengar keren, panggill saja Pak Ubaid!” kata seorang guru baru ketika mengenalkan diri.
Pak ubaid sangat humoris. Selama mengajar, beliau menyelingi humor-humor segar yang membuat kami tertawa. Pembelajaran terasa cair, menyenangkan. Kami belajar sambil menyanyi, menari dan membebaskan imajinasi untuk memilih-milih asa. Bukan itu saja, Pak Ubaid kadang juga mengajak kamii ke luar kelas. Duduk-duduk di atas rerumputan di lapangan sekolah sambil bercerita, belajar di taman sekolah sambil menghirup udara yang segar di bawah garis-garis sinar mentari. Sungguh, belajar terasa penuh dengan keceriaan.
Sehari setelah Ayah pulang dari luar kota, Pak Ubaid berkunjung ke rumah. Aku ada di kamar waktu itu. namun aku masih bisa mendengar pembicaraan mereka, meski sayup-sayup.
“Pak. Bu. Hamim tidak mengalami keterbelakangan. Ia hanya kesulitan dalam mengenali ejaan dan susunan kata dan kalimat pak. Makanya, hingga sekarang ini dia masih susah menulis. Dalam psikologi ini dinamakan Disgrafia,” kata Pak Ubaid menjelaskan.
Pak Ubaid lalu menunjukkan buku-bukuku. “Ini tulisan Hamim. Saat menulis kata “kerja”, ia menulis “kerjah”. Saat mau menulis “susah”, ia menulis “susa”. Lalu lihat yang ini. Ia menulis kata dengan cara yang mencerminkan kesalahan ucap, pembalikan huruf dlam kata, pembalikan suku kata, konsonan maupun vokal. Dan sebagainya,” lanjutnya.
Ayah-Ibu hanya diam dan mendengarkan penjelasan Pak Ubaid dengan seksama.
“Dengan melihat tulisan-tulisan ini, saya sudah menyimpulkan bahwa Hamim mengalami disgrafia, bukan keterbelakanganmental. Untuk membuktikan bahwa Hamim tidak mengalami keterbelakangan seperti yang dikira selama ini, saya memberikan Tes Matrix kepadanya. Tes Matrix adalah tes kecerdasan yang tidak tergantung pada kemampuan mengenal huruf dan angka. Jadi meski yang dites belum bisa membaca, tes tetap valid. Hasilnya, sungguh sangat mencengangkan. Hamim mendapat skor maksimal. Disimpulkan bahwa ia sangat cerdas, dan tidak mengalami keterbelakangan mental. Berarti apa yang dia alami adalah disgrafia,” tegas Pak Ubaid.
Mendengar apa yang dikatakan Pak Ubaid dari kamar, aku merasa lega.Hening sesaat.
“Terus, apa yang harus kami lakukan?” tanya Ibu.
“Kemarin malam, kami merencanakan akan memindahkan Hamim ke Sekolah Inklusi,” ujar Ayah menimpali.
“Kita semua harus membantunya menulis. Menurut saya, tidak usah dipindahkan ke Sekolah Inklusi. Saya akan membantunya menulis dengan banyak variasi. Bapak-Ibu mohon mendampingi dan membimbing Hamim menulis tulisan-tulisan sederhana. tulisan yang disertai gambar-gambar. Dengan latihan secara terus menerus, kesulitanya akan teratasi,” ujar Pak Ubaid membesarkan hatiayah dan Ibu.
********
Aku sangat kagum pada Pak Ubaid. Di sekolah beliau membantuku mengenali huruf-huruf dan angka-angka dengan penuh keikhlasan. Aku bisa melihat keikhlasan itu dari matanya. Pak Ubaid pun mengajariku latihan gerakan menulis, memegang pensil dengan cara yang benar, , menjiplak tulisan, menggambar diantara dua garis, mengajariku membuat dua jenis huruf huruf yang utuh dan huruf yang terbuat dari titik-titik. menuliskan huruf-huruf berukuran kecil dan besar, mengajari membedakan huruf besar dan kecil ditingkatkan dengan menuliskan kata-kata dan selanjutnya kalimat.
“Coba susun huruf-huruf ini sehingga terbaca “ini ibu memasak ubi!” pinta Pak ubaid kepadaku.
Aku pun mencari-cari huruf dan menyusunnya sehingga membentuk kata. Tentu dengan bantuannya.
Lalu Pak Ubaid menyusun huruf-huruf membentuk sebuah tulisan. “Coba, ini bacaannya apa?!”
“bui itu di buat ibu,” jawabku.
“Nah...Bagus,” ujar Pak Ubaid.
Aku menjalankan perintah Pak Ubaid dengan senang hati. Dalam waktu singkat kemampuan menulisku banyak mengalami peningkatan, meski tak semahir teman-temanku sekelas.
Kemampuanku menulis ternyata berimbas juga pada kemampuanku di bidang membaca. Bakatku di bidang membaca berkembang pesat dengan telah terbukanya penghalangku selama ini. Dengan melihat saja, aku kian hari kian gemar membaca,jika ada tulisan-tulisan di manaapun beradaa aku lebih senang membacanya , meski dengan terbata juga, kala itu aku melihat buku di meja yang bertuliskan puisi, ku ambillah buku itu , dan aku membacanya, dengan bergaya melambaikan tangan dan meski dengan nada terbata-bata. Namun anehnya pak Ubaid yang tak sengajaa mengamatiku dari luar ruang ia merasas simpai dan mendengarkan apa yang aku baca, dari puisi itu, beberapa menit setelah aku selesai membaca satu lembar buku puisi itu, spontan pak ubaid berkata “ wah bagus juga sekarang kamu sudah bisa baca puisi segala, wah tadi bagus lho gaya kamu membacakan puisi itu.
Itulah sebabnya, meski aku tak selancar teman-temanku dalam membaca, aku selalu mendapat tugas membaca puisi. Pak Ubaid bangga melihatku mengalami perkembangan yang pesat. Lebih bangga lagi melihatku kini lebih percaya diri dan tak lagi bersembunyi di sudut kelas di bawah jendela.
Di kelas, aku memang terbilang paling gemar membaca puisi sekarang ini. Tapi apakah aku cukup layak ikut lomba baca puisi?
“Saya, kan, masih kelas III, Pak Ubaid. Lomba baca puisi itu untuk kelas V ke atas, kan?” kataku menjawb perintah Pak Ubaid.
“Ya. Memang untuk kelas V ke atas. Tapi kamu boleh juga mencobanya. Santai saja! Setidaknya untuk pengenalan,” kata Pak Ubaid, guruku yang masih muda itu.
“Apa saya bisa, ya? Saya kan, masih ngawaur dan asal baca saja puisi itu di kelas, Pak,?” kataku ragu.
“Oh, lomba baca puisi itu mengandalkan gaya dan intonasi pembacaanya kok. Tidak terlalu membutuhkan menuliskannya. Kamu bisa saja membaca dengan cara kamu sendiri,” jelas Pak Ubaid.
Lalu Pak ubaid menyodorkan lembar-lembar contoh puisi. Aku membaca lembar demi lembar puisi sambil menggerak-gerakkan bibirku. Aku bergaya melambai-lambaikan tangan dan mengeraskan juga mengecilkan pelafalan kata.
*********
Hari minggu. Beberapa anak duduk-duduk di taman di depan kelas sambil memegang buku yang terbuka. Dari depan terlihat gambar seperti lukisan orang sedang melambaikan tangan di sampul buku itu:. Aku ikut juga duduk-duduk di taman, tapi tidak membawa buku.
“Anak-anak yang ikut lomba baca puisi, silakan masuk ke kelas!” kata Pak Ali, guru kelas V.
Anak-anak berlari ke kelas dengan semangat. Sedangkan aku berjalan dengan gontai. Pak Ubaid menghampiriku. “Ayo, semangat! Kamu pasti bisa!”
Setelah semua peserta masuk kelas, Pak Ali tampil ke depan kelas. “Lomba baca puisi ini dilaksanakan sekaligus sebagai seleksi untuk menentukan wakil sekolah kita dalam ajang lomba baca puisi SD tingkat kabupaten. Nanti akan diambil 5 juara, juara I, II, III, harapan I, dan harapan II. Kelima juara ini nanti akan dibimbing secara intensif untuk mengkuti lomba di tingkat kabupaten.”
Aku mencoba membaca puisi dengan lepas. Tanpa beban. Ketika huruf terlihat menari-nari saat kueja, aku tersenyum. Dengan tertatih-tatih kubaca tiap bait dan syair puisi, lalu ku bergaya dengan melambaikan tangan, berdiri, jongkok, menunduk, berbaring dan sebagainya.
Hasilnya, aku masuk 10 besar pada tahap I sehingga bisa mengikuti tahap II.
Usai menyelesaikan baca puisi pada tahap II, kami pulang. Pengumuman tentang juara-juaranya akan diumumkan besok pada hari senin saat upacara bendera.
*********
Inilah saat-saat yang mendebarkan. Pak Ali mengumumkan para juara di akhir upacara bendera. “Juara I diraih oleh Marsha Aprilia Kusumawardani. Juara II: Adhelia Aurellia Putri. Juara III diraih oleh Hamim. Juara Harapan I: Nur Qumaida, dan Juara Harapan II: Dzulfikar Saputra. Nama-nama yang saya sebutkan tadi harap maju ke depan untuk memperoleh piala penghargaan,” kata Pak Ali.
Anak-anak yang namanya dipanggil berlari ke depan barisan, kecuali aku. Pak Ubaid yang berada di barisan para guru menengok ke arah barisan kelas III. Pandangan mata beliau mencari-cari di mana aku berada. Saat Pak Ubaid menemukanku, beliau memberi melambaikan tangan kepadaku agar tampil ke depan. Aku berjalan dengan ragu. Aku ragu kalau ini nyata dan bukan mimpi. Meski aku hanya memperoleh juara III, aku merasa ini sebagai sebuah keajaiban. Di antara para juara, hanya aku yang dari kelas III, anak yang selama ini dianggap bodoh dan terbelakang.
Aku memegang piala dengan tangan bergetar-getar dan jantungku berdetak-detak, tubuhku serasa merinding. Seusai barisan dibubarkan aku menemui Pak Ubaid dan mengucapkan terimakasih atas semuanya. Pak Ubaid telah menemukanku dan mengentasku dari kolam lumpur nan pekat.aku teringat dengan kata-kata beliau dalam menasehatiku beberapa waktu yang lalu;
”There is a will there is a way, and All Is Well”.
Disitu ada kemauan disitu akan ada jalan , dan semuanya akan baik-baik saja.
0 Responses
Posting Komentar