Sebagai
pemakan tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, dan bunga-bungaan, luwak (viverridae)
merupakan binatang yang pandai memilih makanan. Ia selalu makan biji kopi yang
baik dan matang. Biji kopi itu lalu mengalami proses fermentasi dalam
pencernaannya. Itulah yang membuat rasa kopi ini berbeda. Aromanya lebih harum serta ada rasa
pahit dan getir asam yang lebih khas dan spesial. Jadi, kopi luwak yang
terkenal nikmat dan mahal tersebut sebenarnya berasal dari tumpukan kotoran. Kotoran, secara kasat mata memang kotor
dan menjijikkan. Namun, dalam kehidupan nyata, tak semua yang terlihat kotor
dan menjijikkan itu memang begitu adanya. Pelacur misalnya.
Belajar
Ar-Roja’ dari Pelacur
Pelacur,
bak pedang bermata dua: dicinta dan dicerca. Mendengar namanya saja bagi
sebagian orang sudah membuat jijik dan muak, namun buat sebagian lagi mereka
adalah teman sesaat sebagai penghibur hati yang duka. Walau dengan segala upaya
telah dilakukan untuk memberangusnya, namun profesi tertua di bumi ini masih
tetap saja ada.
Pelacur
adalah contoh gamblang para pendosa, simbol neraka yang kerap diucapkan oleh
para ulama, sosok yang keberadaannya mengundang kecaman warga. Pendek kata ia
adalah musuh utama masyarakat beragama.
Tapi,
apakah memang sebegitu mulianyakah kita sehingga merasa berhak merendahkan
mereka? Seakan kitalah pemilik surga yang bisa memasukkan penzina itu ke
neraka. Kalau anda berpendapat demikian, maka saya akan mengajak Anda
melihatnya dari sisi yang berbeda. Perjalanan hidup terkadang memang aneh,
justru dari pelacur hina itulah saya mendapat pelajaran berharga tentang arti
sebuah asa.
Pada
suatu kesempatan wawancara, seorang pelacur ditanya, “Apakah mbak tidak ingin
meninggalkan kehidupan seperti ini dengan hidup normal dan membina sebuah
keluarga?“ pelacur tersebut menjawab “Justru karena saya ingin punya suami,
maka setiap melayani tamu saya berdoa kepada Gusti Allah agar tamu tersebut
senang kepada saya dan kelak menjadi suami saya!”
Jawaban
yang luar biasa. Bayangkan, dalam keadaan berzina saja ia berdoa! Asa, harapan
atau Roja’ (dalam terminologi Islam) bukan hanya sekadar kata yang diucapkan,
namun oleh pelacur tersebut Roja’ sudah menjadi bagian dari hidupnya sendiri.