SESION I
Mulanya,
4 Perwira Polisi Hilang Misterius
Bulan Mei 1998, sejarah dunia mencatat
gejolak di Indonesia. Gejolak yang berujung pada jatuhnya Presiden Soeharto.
Aksi kerusuhan massa, penjarahan, dan pemerkosaan juga berlangsung dengan
brutal. Reformasi terus bergulir, namun pemicu kerusuhan yang sebenarnya masih
bersembunyi di balik debu. Laporan investigasi Susan Berfield dan Dewi Loveard
dari Asiaweek mengungkap, kerusuhan itu memang ada yang mendalangi. Keduanya
menyimpulkan, kerusuhan itu adalah hasil sebuah aksi yang terencana rapi.
Berikut intisarinya.
‘’SEPULUH hari yang mengoyak Indonesia.’’ Begitu majalah
berita terkemuka di Asia itu menyebut huru-hara yang menimpa Indonesia selama
Mei lalu. Kisah ini dimulai bergeraknya jarum jam pada 12 Mei. Jarum jam itu
berhenti ketika 4 mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, ditembak mati oleh
oknum aparat keamanan.
Dalam tempo 24 jam, insiden penembakan
itu membakar amarah massa. Di tengah situasi itu pula, sebuah program anti-Cina
dilancarkan. Api pun melahap Jakarta. Warga keturunan Cina berlarian meninggalkan
ibu kota. Jakarta tidak ubahnya sebuah ‘’zona perang.’’ Ujung-ujungnya,
Presiden Soeharto pun dipaksa mundur. Tetapi, arah nasib bangsa ini pun belum
jelas.
Sampai detik terjadinya kerusuhan –batu
merajam bangunan mewah dan api melahap mobil-mobil–, rakyat semula banyak
mengira itu sebuah spontanitas massa. Massa yang marah terhadap penguasa yang
terlalu lama memerintah. Tetapi, apakah bangsa ini sudah sedemikian brutal?
Sejarah Indonesia memang beberapa kali
mencatat noda hitam aksi kekerasan. Namun, siapa penggeraknya, hampir tidak
pernah diidentifikasi secara jelas. Itulah sosok-sosok ‘’pemimpin bayangan’’.
Siapa mereka, tidak seorang pun berani membuka mulut. Sebab, mereka adalah
orang-orang superkuat, yang hukum pun seolah anti menjamahnya.
Kali ini, insiden Trisakti itu
memberikan gambaran riil. Dua orang oknum polisi diajukan ke pengadilan militer
sebagai pesakitan. Tetapi, benarkah mereka pelakunya? Jujur saja, sebagian
rakyat Indonesia percaya bahwa para terdakwa itu hanya ‘’kambing hitam’’.
Pengadilan militer itu hanya bagian sebuah upaya melindungi kepentingan militer
yang lebih besar.
Hasil investigasi sebulan penuh
Asiaweek –termasuk wawancara dengan beberapa perwira militer, pengacara,
aktivis hak asasi manusia (HAM), para korban, dan saksi mata– menyimpulkan,
penembakan Trisakti, kerusuhan, penjarahan, dan aksi pemerkosaan terhadap para
wanita Cina itu benar-benar sudah direncanakan.
Di antara bukti yang didapat selama
investigasi itu adalah hilangnya empat perwira polisi lengkap dengan seragamnya
beberapa hari sebelum penembakan itu terjadi. Lagi pula, peluru yang diambil
dari tubuh korban Trisakti itu bukanlah peluru resmi milik kepolisian.
Belum cukup di situ. Bukti lain
menyatakan bahwa dua orang lelaki, yang kini dalam persembunyian, mengakui
bahwa mereka sengaja direkrut untuk memancing kerusuhan. Bahkan, sumber-sumber
militer mengatakan bahwa untuk kali pertama mereka berhasil menyadap arus
komunikasi beberapa markas AD di Jakarta dengan kelompok-kelompok provokator pada
14 Mei lalu.
Pertanyaannya, bila kerusuhan itu
sengaja digerakkan, tentu pasti ada dalangnya. Identitas si dalang ini memang
tidak pernah gamblang. Namun, salah seorang yang disebut-sebut terkait dengan
serangkaian aksi kerusuhan itu adalah menantu Soeharto, Letjen TNI Prabowo
Subianto, yang saat itu menjabat Pangkostrad. Bahkan, beberapa kalangan
menilai, keterlibatan Prabowo itu sudah kelewat jelas.
Namun, Fadli Zon –aktivis muslim yang
dekat dengan Prabowo– menilai, sang letjen itu hanyalah korban ‘’pembunuhan
karakter’’. Beberapa hari setelah kerusuhan itu, Prabowo menyangkal terlibat
dalam kerusuhan itu. Lewat perantaranya, Juni lalu dia menyatakan siap
diwawancarai Asiaweek. Tetapi, sampai kini janji wawancara itu tidak pernah
terwujud.
Mengapa harus Prabowo? Banyak alasan
yang mendukung tudingan itu. Prabowo sudah luas dikenal sebagai sosok ambisius.
Dia memiliki berbagai sarana untuk menyulut kerusuhan itu. Dengan posisinya,
dia juga mampu memerintahkan beberapa pemuda yang tak berdaya melawan perintah,
termasuk beberapa oknum dari organisasi paramiliter yang dikenal jago menyulut
kerusuhan.
Para preman, gangster, oknum
paramiliter, dan beberapa perkumpulan pemuda melaksanakan saja apa yang dia
perintahkan. Beberapa di antaranya, seperti Pemuda Pancasila, memang sudah
mapan. Sumber-sumber militer mencurigai bahwa keterlibatan organisasi lain
dalam kerusuhan di Jakarta itu tidak lebih dari sebuah jaringan lokal yang
dikepalai para preman yang direkrut dari berbagai provinsi untuk mengacau ibu
kota.
‘’Prabowo terobsesi keyakinannya bahwa
satu-satunya cara bisa memerintah Indonesia adalah dengan tipu muslihat
militer. Dengan cara itu, dia yakin bisa meraih kekuasaan seperti mertuanya
meraih kekuasaan dari Soekarno,’’ ujar salah seorang perwira militer senior.
Dia menjelaskan, Prabowo sengaja
menciptakan kerusuhan itu dengan harapan rivalnya, (saat itu) KSAD Jenderal TNI
Wiranto, tidak mampu memulihkan keadaan. Harapan Prabowo adalah Soeharto, yang
ketika kerusuhan terjadi berada di Mesir, memberlakukan undang-undang darurat.
Sebagai panglima Kostrad, satuan inti siap tempur, Prabowo sangat yakin dialah
yang bisa mengendalikan situasi. Inilah teorinya.
Teori lain mengatakan, Prabowo sengaja
menciptakan kerusuhan itu untuk menarik simpati Soeharto bahwa Prabowo mampu
mengendalikan situasi yang tidak menentu. Tetapi, apa yang terjadi kemudian?
Prabowo kehilangan pelindung sekaligus
komandonya. Negaranya menanggung kerugian yang jauh lebih besar. Setidaknya
1.188 orang tewas, sekitar 468 wanita diperkosa, 40 mal dan 2.470 toko ludes
dimakan api, serta tidak kurang dari 1.119 mobil dibakar atau dirusak.
Bagaimana sebenarnya
peristiwa pilu ini terjadi?
Mari kita telusuri sepuluh
hari yang mencekam dan mengguncang ibu kota itu.
12 MEI: Sekitar pukul 10.30 WIB, mahasiswa mulai berkumpul
di pelataran parkir di luar kampus Universitas Trisakti yang megah dengan
bentuk M berlantai dua belas itu. Ini merupakan demo terbesar pertama yang
dilaksanakan Trisakti. Mahasiswa yang ikut pun berasal dari bermacam golongan
dan strata sosial. Ada anak-anak birokrat, pengusaha, diplomat, dan bahkan anak
orang militer.
Areal parkir, biasanya dipenuhi Kijang,
Toyota, dan Peugeot, siang yang panas itu benar-benar dijejali mahasiswa yang
protes. Beberapa saat sebelum jarum jam menunjukkan pukul 11.00 WIB, bendera
Merah Putih dikerek setengah tiang. Sementara itu, mahasiswa dan dosen
menyanyikan lagu kebangsaan. Lalu, mereka mengheningkan cipta sesaat sebelum
akhirnya berteriak meminta Soeharto mundur.
Pada pukul 12.30 WIB, sekitar 6.000
mahasiwa bergerak menuju jalan raya di sekitar kampus. Mereka bertekad
melakukan long march menuju gedung DPR/MPR. Tiga wakil Trisakti –Dekan Fakultas
Hukum Adi Andoyo Sutjipto, Kepala Satpam Kampus Arri Gunarsa, dan Ketua Senat
Mahasiwa Julianto Hendro–melakukan negosiasi dengan aparat keamanan. Saat itu
jarum jam sudah mendekati pukul 13.00 WIB.
Perwakilan Trisakti itu meminta aparat
mengizinkan mereka berjalan ke gedung wakil rakyat sejauh 5 km. Tetapi,
permintaan itu tidak dikabulkan. Mahasiwa kecewa dan duduk-duduk sambil terus
beraksi di jalanan. Julianto mengungkapkan penyesalannya karena keinginan
bertemu wakil rakyat itu tidak terkabul.
Aksi mahasiswa masih bertahan. Orasi,
lagu kebangsaan, dan pekik protes terus berlangsung meski hujan mengguyur.
Beberapa demonstran malah dengan akrab meletakkan bunga di pelatuk senapan para
polisi yang berdinas. Sampai akhirnya terdengarlah kabar dari Golkar, kelompok
yang merajai di DPR, bahwa tidak seorang pun sanggup menerima mereka. Berdiri
tegak di tengah polisi dan rekan-rekannya, Julianto menyeru kepada mahasiswa
yang kecewa. Meski kecewa, janganlah menyulut aksi kekerasan.
Sesion II
Situasi Trisakti pada
12 Mei sore memang tampak tenang. Setelah gagal menuju gedung DPR/MPR,
mahasiswa yang kecewa siap tidak menyulut aksi keributan. Pukul 15.00 WIB, Adi
Andoyo kembali ke kantornya. Setengah jam kemudian, asistennya menelepon bahwa
polisi mengancam akan memakai kekuatan bila 200 lebih mahasiswa itu masih di
jalanan menggelar aksi dan tidak mau kembali ke kampus.
Pukul 16.15,
kesepakatan pun tercapai. Mahasiswa dan polisi perlahan-lahan meninggalkan
garis batas lima meter. Sebagian besar mahasiswa kembali ke kampus. Yang lain
masih rileks di jalanan atau berkerumun di sekitar penjaja makanan yang ada di
tepi jalan. Ketua Senat Mahasiswa Julianto Hendro tampak menenggak air kemasan.
Beberapa personel
polisi juga memanfaatkan waktu dengan melepas ketegangan itu. Semuanya tampak
tenang. Dan, Adi Andoyo pun bertolak pulang. Seperempat jam kemudian, 16.30
WIB, seorang lelaki yang berdiri di tengah kerumunan mahasiswa berteriak agar
para mahasiswa menghentikan protes.
Mahasiswa meneriaki
lelaki itu sebagai agen intelijen dan mulai menggebukinya ketika dia berusaha
lari sejauh 50 meter menuju garis polisi. Baru kemudian diketahui bahwa lelaki
itu bernama Masud, mahasiwa Trisakti yang drop-out. Polisi maupun militer tidak
mengklaim Masud adalah orangnya.
Karena Masud, suasana
menjadi tegang kembali. Namun, Kepala Satpam Trisakti Arri Gunarsa dan Julianto
mengingatkan rekan-rekannya agar tetap tenang dan kembali ke kampus. Pada pukul
16.45 WIB, seorang letkol polisi menghentikan perundingan. Mahasiswa diberi
deadline 15 menit agar meninggalkan jalan raya. Sekitar 100 mahasiswa menolak
seruan itu dan tetap berdiri di depan barikade polisi.
Menurut Julianto, tiga
atau empat polisi berusaha menghalau mereka agar mundur. Memang, mahasiswa
berusaha terus merangsek, meski tidak sampai melewati garis batas mereka
sendiri. Polisi mengklaim mahasiswa kemudian menyulut kericuhan. Tetapi, para
saksi mata mengatakan bahwa suasana sebenarnya mulai tenang.
Sekitar pukul 17.20
WIB, seseorang meletupkan senjata ke udara. Polisi pun membalas dengan
melepaskan tembakan gas air mata, memukulkan tongkatnya, dan menembakkan
senjata. Mahasiwa berlarian berlindung di gedung-gedung sekitarnya dan di bawah
payung penjaja minuman di pinggir jalan. Tetapi, polisi terus memburu mahasiswa
hingga ke pintu gerbang kampus. Cukup sampai di pintu gerbang itu saja. Tetapi,
peluru-peluru terus melesat. Sebutir peluru karet menghantam punggung Julianto
yang saat itu sudah di depan kantor senat.
Menghadapi keadaan
itu, dari dalam kampus, mahasiwa membalas dengan melemparkan botol dan batu ke
arah polisi. Saat itu, mahasiwa yakin benar bahwa peluru yang diberondongkan
kepada mereka adalah peluru karet. Mereka yakin bahwa polisi dan tentara pasti
mengikuti prosedur dalam menangani aksi-aksi demonstrasi.
Itu terlihat jelas
dalam satuan-satuan yang diturunkan untuk mengamankan aksi di Trisakti ini.
Seperti pemakaian empat lapis kekuatan: polisi di depan dengan tameng,
pelindung tubuh, dan pentungan; lapis kedua adalah polisi yang bersenjatakan
gas air mata dan senapan stun (yang bisa membuat korban cuma pingsan); lapis
ketiga adalah tentara dengan gas air mata dan senapan berpeluru karet; serta
lapis keempat terdiri atas satuan khusus polisi dan tentara bersepeda motor
yang bersenjatakan senapan air.
Pada hari itu, dua
komandan polisi kemudian bersaksi bahwa personel sama sekali tidak memakai
amunisi hidup, tetapi mereka membawa senapan laras Steyr AUG dan SS-1 yang
diisi dengan peluru kosong dan 12 peluru karet, plus SS-1 yang masing-masing
diisi lima gas kanister. Namun, ‘’seseorang’’ benar-benar memakai peluru nyata.
Beberapa saksi mata
mengatakan, polisi berkendaraan sepeda motor melesat di atas jembatan layang
yang membentang paralel antara kampus Trisakti dan jalan tol. Mereka mengenakan
seragam polisi Brigade Mobil (Brimob). Kemudian, kedua perwira militer
mengatakan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bahwa sepekan
sebelum demonstrasi itu, empat anggota unit Brimob raib bersama seragamnya.
Siapa pun para lelaki
di jembatan layang itu, mereka benar-benar jitu membidikkan peluru nyatanya.
Pukul 17.30 hingga pukul 18.00 WIB, empat mahasiswa gugur tertembus peluru di
kepala, leher, dada, dan punggung.
Sementara itu,
sebagian besar korban luka masih berhadapan dengan polisi. Mereka berusaha
membuka barikade dengan melempari polisi dengan batu. Korban gugur pertama
Hendriawan Sie, 20 tahun, kemudian dilarikan Arri secepatnya ke RS Sumber Waras
yang terdekat. Sayang, nyawa Hendriawan yang lehernya tertembus peluru saat
berada di balik pintu gerbang kampus itu tidak tertolong. Darah terus mengucur
dari lehernya. Dalam perjalanan menuju kampus itulah, dia gugur.
Elang Mulya Lesmana,
19 tahun, ditembak di dada dan langsung tewas di kampus. Hafidhin Royan, 21
tahun, ditembak di kepala dan meninggal di rumah sakit. Lalu, Hery Hartanto, 21
tahun, ditembak di punggung ketika dia berhenti berlari untuk membersihkan
perih di matanya yang terkena gas. Dia meninggal di kampus itu.
Menurut kepolisian dan
seorang sumber yang dekat dengan militer, peluru yang dipakai membunuh empat
mahasiwa itu jenis 5,56 mm MU5 yang dilesatkan dari senapan laras Steyr AUG.
Padahal, aparat polisi yang diterjunkan untuk mengamankan demo Trisakti itu
dibekali MU4.
Hasil yang menguatkan
polisi tidak terlibat dalam insiden pembunuhan itu tidak lain berupa bukti
peluru yang diambil dari jasad Hery pada 7 Juni lalu. Satu-satunya bukti kuat
bahwa polisi memang tidak terlibat.
Empat nyawa sudah
melayang. Tetapi, mahasiwa masih mendengar tembakan sporadis pada pukul 18.00
hingga pukul 19.00 WIB. Beberapa saat kemudian, korban terakhir bernama Sofyan
Rachman ambruk ke tanah. Hingga sekarang, Sofyan masih berada dalam perawatan
intensif untuk memulihan luka di dada yang juga menggores ginjalnya.
Pukul 20.00 WIB,
Intan, mahasiswi fakultas hukum, keluar dari kampus dengan mengenakan pakaian
putih. Dia berteriak kepada polisi bahwa orang-orang di dalam kampus butuh
pertolongan medis. Setelah itu, tembakan pun berhenti. Seketika itu pula, 35
orang terluka dilarikan ke rumah sakit, meski sebelumnya polisi menolak
memberikan jaminan keamanan ambulans yang membawa para korban itu.
Selain itu, kata Arri, komandan polisi telah memberi tahu dia bahwa luka-luka mahasiswa tersebut tidak mengancam nyawa. Sebab, peluru yang dipakai terbuat dari karet.
Beberapa saat setelah
penembakan Trisakti itu, kawasan etnis Cina di Sunter dalam keadaan siaga.
Malam itu, Imam Suyitno –warga sipil yang sudah dilatih meminta bala bantuan
tentara dalam keadaan darurat– diperintahkan mengorganisasi pemantauan keamanan.
Dia berdiri mengawasi keadaan di pintu gerbang pusat perbelanjaan di kawasan
itu bersama rekan-rekannya.
Malam itu, mereka melihat sebuah truk AD yang berhenti di belakang supermarket. Sekitar 20 orang lelaki berpenampilan serem (garang) turun dari truk itu. Tetapi, kata Imam, sebelum turun, wajah-wajah sangar itu menerima sesuatu dari seorang lelaki. Lelaki ini kemudian lenyap ditelan kegelapan malam.
13 MEI: Pukul 09.15
WIB, ribuan mahasiswa menghadiri upacara belasungkawa di Trisakti. Sebuah tenda
plastik bernoda darah berdiri di atas jalan setapak dekat Gedung M. Bendera
berkibar setengah tiang. Di sana hampir semua tokoh pengkritik pemerintah hadir
memberikan orasi. Kaum ‘’selebriti’’ politik Indonesia mengatakan, era baru
segera datang. Setelah itu, kata saksi mata, keadaan berubah cepat.
Kerumunan massa yang
ditolak masuk dan semula di depan pintu gerbang kampus kini mulai meruah dan
melakukan keributan di jalanan. Mencium gelagat brutal itu, mahasiswa yang di
lingkungan kampus bertekat tidak akan beranjak keluar menuruti seruan bergabung
massa di luar. Massa pun mulai kalap. Mereka menghitamarangkan mobil-mobil yang
diparkir dekat Mal Citraland. Dua boks gerbang pembayaran tol disulut api.
Kerusuhan meluas di wilayah Jakarta Barat, lalu terus meluas.
Ketika asap membumbung dari bangunan-bangunan Jakarta, pengacara kesohor Adnan Buyung Nasution dan Ketua YLBHI Bambang Widjoyanto menemui Prabowo di markas Kostrad. Mereka bicara selama 30 menit. Di hadapan Prabowo, Buyung dan Bambang menanyakan keterlibatan menantu Soeharto itu dalam insiden penculikan beberapa aktivis politik.
Ketika asap membumbung dari bangunan-bangunan Jakarta, pengacara kesohor Adnan Buyung Nasution dan Ketua YLBHI Bambang Widjoyanto menemui Prabowo di markas Kostrad. Mereka bicara selama 30 menit. Di hadapan Prabowo, Buyung dan Bambang menanyakan keterlibatan menantu Soeharto itu dalam insiden penculikan beberapa aktivis politik.
Buyung dan Bambang
merasa perlu menanyakan hal itu didasari pikiran bahwa adanya konflik antara
Prabowo dan Wiranto. Di hadapan dua praktisi hukum senior itu, Prabowo
bersumpah tidak tahu-menahu soal penculikan para aktivis tersebut. Prabowo juga
menolak dugaan bahwa dia berseteru dengan Wiranto.
Kerusuhan terus meluas
di luaran. Pada pukul 16.00 hingga pukul 17.00 WIB, kata seorang perwira
tinggi, Wiranto memerintahkan (kala itu) Pangdam Jaya Mayjen Syafrie Syamsuddin
agar mengirim pasukan untuk mengontrol aksi kerusuhan yang kian luas itu.
Syafrie benar-benar menurunkan pasukannya di jalan-jalan. Namun, ternyata dia
tidak memberangkatkan atau menempatkan pasukannya di beberapa wilayah yang
sebenarnya sangat membutuhkan. Bahkan, dia tidak memberikan perintah yang jelas
kepada pasukannya itu.
Menurut sumber perwira
tinggi itu, Syafrie malah membuat pasukannya bingung. Mereka yang bermarkas di
wilayah barat di Jakarta diperintahkan pergi mengamankan di wilayah timur, dan
sebaliknya. Saat itulah Prabowo mendesak Wiranto agar memberinya izin
menurunkan unit pasukan elite cadangan di ibu kota. Tetapi, Wiranto menolak.
Sekitar pukul 19.00
WIB, Wiranto melakukan inspeksi dengan Syafrie. Saat itulah, Wiranto merasa
tidak cocok terhadap tindakan yang dilakukan Syafrie. Karena itu, Wiranto
kemudian meminta Pangdam Diponegoro mengirim pasukan ke Jakarta.
Padahal, perjalanan
menuju Jakarta butuh waktu sehari penuh. Prabowo dan perwira-perwira yang loyal
kepadanya, seperti Syafrie, masih bisa mengontrol sebagian besar wilayah
Jakarta sebelum kehadiran pasukan dari Jawa Tengah. Sumber-sumber intern
mengatakan, Wiranto memang sengaja tidak menurunkan sejumlah pasukan yang loyal
kepadanya karena cemas akan terjadi bentrokan bersenjata dengan pasukan
Prabowo.
Sesion III
Kelompok Perusuh Itu
Dipandu Frekuensi Khusus
Kerusuhan di Jakarta
pada 13 Mei 1998 itu benar-benar mencekam. Pengendalian huru-hara itu pun
terkesan tidak terpadu sehingga membuka pintu bagi aksi-aksi lain di wilayah
ibu kota. Jakarta merana, merah padam disulut api oleh orang-orang kalap. Di
tengah kegerahan inilah, beberapa WNI Tionghoa meronta karena diperlakukan
tidak manusiawi.
PUKUL 18.30 WIB: Susi,
mahasiswi salah satu perguruan tinggi di kawasan Jakarta Pusat, berniat pulang.
Seperti biasa, Susi menumpang sebuah bus dengan rute yang melintasi Citraland
dan Universitas Trisakti. Ketika bus sampai di Mal Citraland, puluhan massa
mengepung dan memaksa sopir menghentikan busnya. Massa meneriaki seluruh
penumpang agar turun. Bila tidak mau, mereka pun siap membakar bus itu.
Akhirnya, sekitar 50
penumpang bus tersebut turun juga. Tetapi, massa yang kalap itu masih juga
membakar bus tersebut. Tidak ada cara lain bagi Susi kecuali pulang dengan
berjalan kaki. Dicekam ketakutan, langkah mahasiswi keturunan Cina ini kian
cepat. Seolah dia dikejar seseorang. Menyusuri kegelapan malam, tidak ada lentera
kecuali nyala dan jilat api mobil serta sepeda motor yang dibakar di jalan.
Kerumunan massa
semakin brutal. Jumlah mereka sudah mencapai ratusan. Seolah berpesta, mereka
membabi buta melakukan perusakan. Sedangkan ratusan lainnya menatap di pinggir
jalan. Seorang lelaki tak bersenjata berusaha merampok Susi. Namun, mahasiswi
ini berusaha bertahan untuk tidak menyerahkan dompetnya.
Susi berlari kencang.
Lelaki yang bermaksud jahat itu pun mengejarnya. Ketika lelaki itu mendekat,
Susi berusaha mencari perlindungan dengan merangkul seorang lelaki yang dekat
dengannya. Lelaki itu bernama Wahyu. Wahyu mengaku tak mampu memberikan
perlindungan kepada Susi. Dengan demikian, lelaki jahat itu pun dengan gampang
meminta uang Susi.
Susi bersumpah hanya
punya uang Rp 10 ribu. Menurut Susi, uang sejumlah itu pun diambil oleh lelaki
tadi. Malahan, dia masih mengumpat Susi dengan kata-kata, ’’Gadis Cina edan.’’
Wahyu memikirkan cara
bagaimana menyelamatkan Susi. Akhirnya, dia memberikan topinya kepada Susi.
Mahasiswi ini kemudian menutupi raut wajahnya dengan topi itu sesuai dengan
saran Wahyu.
Karena sama-sama satu arah, Wahyu dan Susi berjalan bersama. Di perjalanan, Susi mengatakan melihat sebuah mobil dibakar bersama penumpangnya. Dia juga mendengar pekikan ’’Enyahkan Cina.’’ Di seberang jalan, dia malah menatap gadis-gadis yang sudah ditelanjangi. Orang berusaha melihat, tetapi Susi berusaha tak acuh.
Karena sama-sama satu arah, Wahyu dan Susi berjalan bersama. Di perjalanan, Susi mengatakan melihat sebuah mobil dibakar bersama penumpangnya. Dia juga mendengar pekikan ’’Enyahkan Cina.’’ Di seberang jalan, dia malah menatap gadis-gadis yang sudah ditelanjangi. Orang berusaha melihat, tetapi Susi berusaha tak acuh.
Sekitar pukul 21.00
WIB, Susi dan Wahyu berhasil meninggalkan jalan yang mencekam tadi. Mereka
kemudian berhenti di sebuah kedai teh. Anak lelaki pemilik kedai datang. Dia
baru saja melihat kerusuhan di jalan. Anak pemilik kedai ini mengatakan bahwa
mereka (massa) sudah melakukan perbuatan yang mengerikan bagi warga keturunan
Cina.
Suami-istri pemilik
kedai teh itu menawarkan inapan. Susi pun tak bisa menampik. Pagi-pagi sekali,
mereka menghubungi seorang temannya untuk mengantarkan Susi pulang. Sebelum
pulang, suami-istri itu menyodorkan jilbab agar Susi mau memakainya. Tetapi,
Susi lebih suka memakai topi pemberian Wahyu. Ketika jarum jam siap menyentuh
09.30 WIB (14 Mei), Susi tiba dengan selamat di rumah.
Tetapi, dia tidak lagi
bisa menyaksikan pemandangan yang serupa dengan pemandangan saat dia berangkat
ke kampus sehari sebelumnya. Soalnya, toko-toko yang ada di sekitarnya sudah
jadi arang. Toko-toko yang ditempeli tulisan ’’Milik Muslim’’ di pintu maupun
pintu gerbang umumnya selamat. Namun, ibu Susi –yang membuka toko kosmetik–
tidak mau memasang tulisan itu. Sepekan setelah peristiwa itu, warga di
lingkungan Susi tinggal mengorganisasikan pengamanan bersama setiap malam.
Masing-masing orang melengkapi diri dengan alat pengaman, dari stik golf sampai
pedang samurai.
Hampir bersamaan
dengan waktu Susi meninggalkan kampus tadi, seorang pengusaha keturunan Cina
tiba di rumahnya di Jembatan Lima, kawasan yang didominasi etnis Cina. Istri
pengusaha itulah yang meminta sang suami secepatnya pulang. Sang istri itu
merasa ngeri melihat kerumunan orang yang tidak dia kenal dan berteriak di
jalanan sambil membawa batu.
Ipar lelaki pengusaha
itu mengaku melihat sekitar lima orang berpenampilan serem melempar
jendela-jendela bangunan dengan batu untuk menarik perhatian. Ketika gelombang
massa mulai berdatangan dari kampung sekitarnya, kelima orang berpenampilan
garang itu mempengaruhi massa agar masuk sebuah gudang air mineral. Massa
diserukan agar mengambil apa saja yang mereka suka, lalu bakar benda-benda yang
tidak bisa dibawa.
Lalu, kelima orang
tadi berteriak, ’’Mari kita serbu tempat lain!’’ Dan, massa yang kesetanan itu
pun pergi. Malam itu juga bank di wilayah itu dirusak, mobil-mobil dibakar, dan
sebuah toko emas habis dikuras. Sebuah pasar makanan juga dihancurkan. Warga
menelepon pos polisi dan militer untuk meminta bantuan. Tapi, tak seorang pun
menjawab panggilan telepon itu.
Menjelang tengah
malam, ujar seorang relawan kemanusiaan bernama Karyo, seorang godfather
memberikan perintah kepada sekumpulan anggota geng anak muda dan pecandu
narkotika agar bertemu pagi harinya untuk merayakan ’’pesta jalanan.’’ Karyo
mengakui tahu soal perintah itu karena salah seorang dari anggota geng tadi
memberi tahu dia.
Kepada Karyo, pemuda
itu mengatakan bahwa perintah godfather tidak mungkin ditolak. Pemuda itu
diminta mengenakan seragam sekolah, lalu datang ke kawasan Klender untuk memancing
perkelahian. Namun, tutur Karyo, pemuda itu pisah dengan kelompoknya sebelum
sampai di tujuan.
14 MEI: Sekitar pukul 02.00 dini hari, kata seorang perwira militer, (kala itu) Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Syamsoeddin mengeluarkan instruksi bagi kelompok-kelompok yang ada di jalanan. Sepanjang hari itu, orang-orang di markas Sjafrie mendengar perintah ke mana orang-orang di jalanan itu harus pergi. Akhirnya, frekuensi radio itu berhasil di-jam (dicegat). Padahal, hanya satuan elite Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dan intelijen AD- lah yang bisa melakukannya.
Menurut sumber lain yang juga militer, setelah fajar, gangsters dari Lampung, Sumatera Selatan, dipandu memasuki wilayah ibu kota oleh pasukan Kopassus –satuan yang dipimpin Prabowo mulai 1995 sampai Februari lalu. Seorang pegawai sipil di markas militer mengatakan, sepekan sebelum kerusuhan meletus, ratusan pemuda Timtim dibawa dan dilatih oleh Kopassus. Mereka dibawa dengan pesawat carteran dari Dili ke Yogyakarta. Dari Yogyakarta, ratusan pemuda Timtim itu dibawa ke Jakarta dengan kereta api.
14 MEI: Sekitar pukul 02.00 dini hari, kata seorang perwira militer, (kala itu) Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Syamsoeddin mengeluarkan instruksi bagi kelompok-kelompok yang ada di jalanan. Sepanjang hari itu, orang-orang di markas Sjafrie mendengar perintah ke mana orang-orang di jalanan itu harus pergi. Akhirnya, frekuensi radio itu berhasil di-jam (dicegat). Padahal, hanya satuan elite Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dan intelijen AD- lah yang bisa melakukannya.
Menurut sumber lain yang juga militer, setelah fajar, gangsters dari Lampung, Sumatera Selatan, dipandu memasuki wilayah ibu kota oleh pasukan Kopassus –satuan yang dipimpin Prabowo mulai 1995 sampai Februari lalu. Seorang pegawai sipil di markas militer mengatakan, sepekan sebelum kerusuhan meletus, ratusan pemuda Timtim dibawa dan dilatih oleh Kopassus. Mereka dibawa dengan pesawat carteran dari Dili ke Yogyakarta. Dari Yogyakarta, ratusan pemuda Timtim itu dibawa ke Jakarta dengan kereta api.
Saat dimintai
konfirmasi oleh Asiaweek, maskapai yang mengangkut pemuda Timor Timur itu
menolak buka suara. Menurut mereka, adalah kebijakan untuk tidak membicarakan
penerbangan tersebut.
Pagi-pagi sekali, Karyo menerima telepon dari seorang tak dikenal. Menurut si penelepon, hari itu Jatinegara Plaza di kawasan Jakarta Timur akan dibakar. Saksi mata mengatakan, setelah telepon itu, delapan lelaki tiba di Jatinegara. Seorang di antara mereka berusaha menarik perhatian massa dari kampung sekitar dengan membakar ban mobil. Ketika massa sudah berkumpul, empat dari delapan lelaki tadi mengajak mereka menuju plaza yang sedang melakukan aktivitas bisnis. Mereka merusak, tapi aparat keamanan hanya bisa menatap.
Pagi-pagi sekali, Karyo menerima telepon dari seorang tak dikenal. Menurut si penelepon, hari itu Jatinegara Plaza di kawasan Jakarta Timur akan dibakar. Saksi mata mengatakan, setelah telepon itu, delapan lelaki tiba di Jatinegara. Seorang di antara mereka berusaha menarik perhatian massa dari kampung sekitar dengan membakar ban mobil. Ketika massa sudah berkumpul, empat dari delapan lelaki tadi mengajak mereka menuju plaza yang sedang melakukan aktivitas bisnis. Mereka merusak, tapi aparat keamanan hanya bisa menatap.
Beberapa jam kemudian,
seseorang menembakkan gas air mata di lantai dasar Jatinegara Plaza. Dua saksi
mata melihat, saat itu seorang lelaki menyiramkan bensin di pintu masuk, lalu
membakarnya. Di lantai tiga, seorang lelaki lain terlihat membakar gulungan kain.
Dia lalu meninggalkan tempat itu dengan turun melewati pipa udara. Sebanyak 70
orang, termasuk beberapa pekerja di plaza itu, tewas terbakar. Namun, satuan
pemadam kebakaran dan polisi tidak bereaksi.
Bergerak jauh ke arah timur Klender, Yogya Plaza juga diserbu. Saksi mata mengatakan, sekelompok lelaki memimpin massa yang ada di jalanan dan mempersilakan mereka mengambil apa pun yang mereka suka. Sekelompok lelaki penyulut tadi berpotongan rambut cepak, badan tegap, dibungkus jaket hitam. Lelaki-lelaki ini mengaku sebagai mahasiswa.
Bergerak jauh ke arah timur Klender, Yogya Plaza juga diserbu. Saksi mata mengatakan, sekelompok lelaki memimpin massa yang ada di jalanan dan mempersilakan mereka mengambil apa pun yang mereka suka. Sekelompok lelaki penyulut tadi berpotongan rambut cepak, badan tegap, dibungkus jaket hitam. Lelaki-lelaki ini mengaku sebagai mahasiswa.
Setelah beberapa jam
menyerbu, merusak, dan menjarah Yogya Plaza, seorang di antara lelaki tadi
berteriak kepada para penjarah agar secepatnya keluar dari plaza itu. Lalu,
lelaki ini dan tiga rekannya mencelupkan sepotong kain lebar ke dalam bensin,
kemudian menyulutnya dengan korek api. Kain yang terbakar itu dilemparkan ke
plaza. Lelaki-lelaki berjaket hitam itu pun pergi. Tapi, sekitar 100 orang mati
terpanggang.
Di Jakarta Barat,
massa berkumpul di Meruya. Mereka sudah mendengar rumor bahwa pasar di wilayah
tetangga akan dijadikan abu. Beberapa saat kemudian, kata saksi mata, dua
minibus tiba di Meruya. Dua minibus itu mengangkut para lelaki berseragam
sekolah. Ada kejanggalan. Lelaki-lelaki berseragam itu sebenarnya sudah tidak
tampak sebagai pemuda belasan tahun. Lelaki-lelaki berseragam ini memakai bom
molotov untuk menyulut api. Api menjalar. Lelaki-lelaki berseragam itu pun
cepat lenyap.
Masih pagi hari pada 14
Mei, sekelompok lelaki yang tampak terlalu tua dan terlalu besar untuk
mengenakan seragam SMU, mulai memancing keributan dengan berkelahi di jalan
raya utama Sunter. Mereka kemudian juga mulai membakar ban-ban. Setidaknya,
tiga pengendara sepeda motor terlihat berputar-putar di sekelilingnya. Seolah
tampak kebingungan.
Saat itu, Suyitno
–penghubung militer-warga– menunjukkan satu arah kepada pengendara sepeda motor
tadi. Namun, para pengendara itu malah memacu sepeda motornya menjauh. Sejak
kerusuhan meletup, sudah dua hari Suyitno melakukan kontak dengan pos komando
militer setempat. Saat
kontak itu, kata Suyitno, seseorang di markas memberi tahu dia, ’’Bila kamu
dilempari batu oleh para perusuh, balaslah dengan senyum. Saya perintahkan kamu
hanya tersenyum, cukup itu saja.’’
Para perwira di
wilayah Sunter mengaku juga menerima perintah yang sama dengan Suyitno.
Beberapa mengaku sama sekali tidak menerima perintah. Ketika beberapa perwira
berinisiatif melapor kepada atasan tentang aksi yang kian meluas, mereka hanya
dibalas dengan perintah agar tetap siaga. Menjawab fenomena aneh ini, seorang
perwira berkata kepada Suyitno, ’’Saya rasa sama-sama ada ketidakjelasan
perintah di Jatinegara dan Klender.’’
Sementara itu, kata
seorang sumber yang dekat dengan (saat itu) Kapolda Mayjen Hamami Nata,
beberapa satuan polisi diminta berkumpul di markas, tapi diperintahkan tetap di
tempat. Menurut sumber itu, hampir semua polisi di sana tidak ada yang berani
meninggalkan tempat karena mereka tidak yakin benar perintah siapa yang akan
diikuti. Satuan pemadam kebakaran juga diperintahkan agar tidak bekerja.
Glodok Plaza, kawasan
komersial yang berdiri megah di tengah Jakarta itu, akhirnya juga tidak luput
dari serangan api dan serbuan batu. Muladi, seorang satpam, menyaksikan sendiri
bagaimana aksi perusakan dan penjarahan itu terjadi. Saat itu sekitar pukul
16.00 WIB, Muladi melihat lebih dari 2.000 orang dengan tas-tas penuh batu dan
alat pencongkel pintu secara paksa bergerak menuju Glodok.
Beberapa orang lain membawa bom molotov. Polisi memberikan tembakan ke udara sebagai peringatan, tapi massa tidak menggubris. Polisi kemudian tampak pasrah dan minggir. Glodok Plaza diserbu, dijarah, dan dilumatkan. Orang-orang tampak bersemangat mengusung komputer, kulkas, televisi, dan barang lain dari pusat perbelanjaan elektronik itu. Pesta itu terus berlangsung sebelum api mulai tampak melahap sekitar pukul 19.00 WIB. Tidak tampak seorang pun berusaha memadamkan kobaran api.
Beberapa orang lain membawa bom molotov. Polisi memberikan tembakan ke udara sebagai peringatan, tapi massa tidak menggubris. Polisi kemudian tampak pasrah dan minggir. Glodok Plaza diserbu, dijarah, dan dilumatkan. Orang-orang tampak bersemangat mengusung komputer, kulkas, televisi, dan barang lain dari pusat perbelanjaan elektronik itu. Pesta itu terus berlangsung sebelum api mulai tampak melahap sekitar pukul 19.00 WIB. Tidak tampak seorang pun berusaha memadamkan kobaran api.
’’Lebih mengerikan
dibandingkan dengan perang karena kami tak bisa meminta bala bantuan,’’ kenang
Muladi.
Sebelum Glodok Plaza
dirajam api, petangnya, si jago merah juga melahap rumah seorang pengusaha
keturunan Cina yang ada di wilayah tetangganya. Massa meruak masuk, mengambil
barang-barang dari rumah itu. Saat itu, sejumlah personel militer hanya bisa
menatap. Sedangkan si pengusaha yang cemas terpaksa tertahan di jalanan. Dia
menggigil ketakutan ketika massa berteriak untuk menghancurkan rumahnya.
Akhirnya, dia pun
terpaksa menyusuri tapak jalan dengan berjalan kaki. Baru menjelang tengah
malam, dia sampai di kediamannya yang sudah menjadi arang. Dia hanya bisa
menatap sisa-sisa miliknya disantap api. Baru pada pagi hari, konglomerat ini
bisa memasuki areal rumahnya dengan ditemani dua orang perwira polisi militer.
Lantai satu dan dua rumah itu sudah rata dengan tanah.
Dengan perasaan pedih,
dia naik ke tangga tiga yang selama itu dijadikan apartemen keluarga. Ternyata,
di sana tidak kalah mengenaskan. Perabot mahal yang ada di ruang tamu amblas.
Di kamar tidur, di atas ranjang, lelaki pengusaha itu mendapati istrinya sudah
tewas terpanggang. Di kolong ranjang, anak gadisnya yang berusia 17 tahun juga
sudah menjadi mayat. Sementara itu, kakak wanita gadis itu yang berusia 18
tahun pun sudah tidak bernyawa. Jasadnya ada di lemari pakaian dengan tangan
menggengam telepon selular dan Injil.
Menurut Rosita Noer,
dokter yang juga aktivis hak asasi manusia, sepanjang hari pada 14 Mei itu,
setidaknya, sudah 468 wanita diserang sekelompok lelaki di 15 tempat. Di 10 wilayah,
sekelompok wanita juga dikerjai. Umumnya, korban diserang ketika berada di
toko, rumah, dan di dalam mobil mereka.
Yang memilukan, justru
pelaku kerap memperlakukan korban secara tidak manusiawi. Mereka menelanjangi,
lalu melihat tubuh wanita-wanita korbannya. Beberapa lagi malah memperkosanya.
Para pelaku itu memang asing di mata korban, yang umumnya keturunan Cina.
Korban lain diperkirakan akibat salah sasaran karena mirip Cina atau bekerja
pada keluarga keturunan Cina. Sedikitnya, 20 wanita tewas atau dibunuh setelah
diperkosa itu, beberapa lagi nekat bunuh diri.
Menurut penuturan Ita
Nadia, Kepala Pusat Studi Wanita Kalyanamitra, telah terjadi 10 lelaki memaksa
beberapa wanita masuk ke sebuah rumah. Di sana, mereka mengobrak-abrik isi
rumah itu, lalu menelentangkan korbannya. Mereka memperkosa ibu dan anak
perempuan di depan ayah dan anak lelakinya. Seorang nenek mengaku melihat
kemaluan cucu wanitanya ditusuk dengan botol.
Di tempat lain, seorang ibu mencoba bunuh diri karena tidak tahan melihat anak gadisnya yang berusia belasan tahun diperkosa di hadapannya. Seorang ayah malah memberi anaknya Baygon untuk memudahkan jalan anak gadisnya itu bunuh diri setelah dia diperkosa. Juga, seorang ibu yang mengidap serangan jantung langsung tewas begitu mendengar anak gadisnya telah diperkosa.
Di sebuah apartemen berlantai 15 di kawasan Pluit, Jakarta Utara, beberapa kelompok lelaki bergerak secara sistematis menyerang wanita-wanita Cina yang ada di setiap lantai. Aksi ini dimulai pukul 09.00 WIB sampai petang hari. Para lelaki itu bisa bergerak leluasa karena mereka benar-benar sudah menguasai apartemen itu. Diperkirakan, mereka sudah memperkosa lebih dari 40 gadis dan wanita.
Di tempat lain, seorang ibu mencoba bunuh diri karena tidak tahan melihat anak gadisnya yang berusia belasan tahun diperkosa di hadapannya. Seorang ayah malah memberi anaknya Baygon untuk memudahkan jalan anak gadisnya itu bunuh diri setelah dia diperkosa. Juga, seorang ibu yang mengidap serangan jantung langsung tewas begitu mendengar anak gadisnya telah diperkosa.
Di sebuah apartemen berlantai 15 di kawasan Pluit, Jakarta Utara, beberapa kelompok lelaki bergerak secara sistematis menyerang wanita-wanita Cina yang ada di setiap lantai. Aksi ini dimulai pukul 09.00 WIB sampai petang hari. Para lelaki itu bisa bergerak leluasa karena mereka benar-benar sudah menguasai apartemen itu. Diperkirakan, mereka sudah memperkosa lebih dari 40 gadis dan wanita.
Prabowo Tegang, tapi
Bisa Kendalikan Diri
Tiga gadis bersaudara
sedang menunggu toko milik keluarga ketika tujuh lelaki berkulit legam dan
tegap yang tidak mereka kenal menyerang sekitar pukul 16.00 WIB. Gadis-gadis
itu kemudian berhamburan menuju apartemen mereka di lantai tiga. Lelaki-lelaki
tersebut memburu dan berhasil menangkap mereka. Dua gadis termuda diperkosa,
sedangkan si sulung hanya diberi tahu bahwa dia terlalu tua untuk dimangsa.
Lalu, mereka menyulut
lantai dasar apartemen itu dengan api. Dua gadis yang mahkotanya sudah
direnggut paksa tadi didorong ke dalam kobaran api dan tewas. Namun, si sulung
dapat diselamatkan oleh para tetangga. Tidak berhenti di sini, kekerasan dan
pemerkosaan terus menjalar ke segenap wilayah itu. Menjelang pukul 19.00 WIB,
sejumlah wanita telah diperkosa dan kawasan itu dibumihanguskan.
Di tiga kawasan
pecinan di Jakarta Barat, antara pukul 17.00 hingga 20.00 WIB, sejumlah lelaki
menyeret ratusan gadis ke jalanan, menelanjangi, dan memaksa mereka menari
bersama massa. Menurut Dokter Noer, 20 orang diperkosa dan beberapa lagi
dibakar hidup-hidup. Dokter wanita itu juga mengakui dirinya tengah mempelajari
kasus perkosaan enam gadis berusia 14–20 tahun di beberapa wilayah Jakarta.
Empat di antara enam gadis itu mengaku telah digilir tujuh lelaki yang tidak
mereka kenal. Malah, (maaf) wilayah kelamin gadis-gadis itu –mulai vagina
sampai anus– dirobek hingga menganga.
‘’Secara fisik memang
bisa disembuhkan. Tetapi, peristiwa ini akan menghantui mereka selamanya,’’
tutur Noer.
Jakarta masih
mencekam. Pukul 19.30 WIB, Jenderal Wiranto muncul di layar televisi dan
mengatakan bahwa aparat keamanan sudah berhasil mengendalikan situasi. Tetapi,
tidak adanya aparat keamanan di jalan-jalan mendorong beberapa kedutaan asing
menyerukan perintah evakuasi. Dan, ribuan warga asing –termasuk etnis Cina–
mulai meninggalkan Jakarta yang membara dan berhias kebrutalan.
Ketika aksi perkosaan
dan penjarahan masih berlangsung, Prabowo sedang berada di markas Kostrad. Di
sana, menantu Soeharto itu sedang menerima utusan kelompok pemuda dan
organisasi muslim. Menurut seseorang yang ada di tempat itu, Prabowo meminta
mereka membantu menenangkan situasi dengan memberikan dukungan kepada Sjafrie.
Prabowo memang tegang,
kata orang dekatnya, namun tampak masih bisa mengendalikan diri. Mereka memesan
makanan dan santap malam bersama. Karena situasi masih kacau, pesanan makanan
itu pun harus diambil dengan kendaraan bersenjata.
Sekitar pukul 01.00
WIB (15 Mei), Prabowo mengunjungi Ketua Umum PB NU KH Abdurrahman Wahid alias
Gus Dur di kediamannya. Lalu, Prabowo kembali ke markas Kostrad, yang ternyata
kemudian hanya memberinya kesempatan bertahan di sana cuma hingga sepekan
berikutnya.
15–19 MEI: Selama empat hari berikutnya, aksi kekerasan dan berbagai drama pilu itu masih menghantui jalanan. Pukul 04.40 WIB pada 15 Mei, Soeharto tiba dari Kairo, Mesir, dan mendarat di landasan militer Halim di kawasan Jakarta Timur. Konvoi yang terdiri atas 100 kendaraan bersenjata mengawal Soeharto menuju kediamannya di Cendana. Setelah itu, tank-tank Scorpion pertama dan beberapa batalion pasukan bergerak memasuki pusat kota.
15–19 MEI: Selama empat hari berikutnya, aksi kekerasan dan berbagai drama pilu itu masih menghantui jalanan. Pukul 04.40 WIB pada 15 Mei, Soeharto tiba dari Kairo, Mesir, dan mendarat di landasan militer Halim di kawasan Jakarta Timur. Konvoi yang terdiri atas 100 kendaraan bersenjata mengawal Soeharto menuju kediamannya di Cendana. Setelah itu, tank-tank Scorpion pertama dan beberapa batalion pasukan bergerak memasuki pusat kota.
Jalanan masih dihiasi
pecahan kaca, mobil-mobil yang sudah jadi rongsokan arang, televisi yang
porak-poranda, dan puing-puing barang yang sebelumnya begitu berharga. Bank,
pusat perkantoran, gedung pemerintahan, dan sekolah-sekolah tutup. Hanya
bandara internasional yang tetap melaksanakan aktivitas.
Di tengah kebisuan
Jakarta itu, satuan pemadam kebakaran mulai beraksi memadamkan toko-toko dan
bangunan-bangunan yang masih mengeluarkan asap. Seketika itu pula, mayat-mayat
sudah bisa dihitung. Tapi, masih banyak yang belum terbilang. Para ayah sibuk
mencari anaknya. Ibu-ibu berbondong ke rumah sakit untuk mengenali jasad-jasad,
yang mungkin di antara mereka ada jasad suaminya. Sungguh sayang. Mayat-mayat
itu tidak bisa lagi dikenali karena rusak terbakar. Akhirnya, korban-korban
aksi kekerasan Mei ini dikubur masal.
Paramedis dari tim
relawan untuk kemanusiaan berhasil menolong seorang lelaki yang terluka parah
di luar markas militer, di kawasan Jakarta Timur. Lelaki itu kemudian dibawa
paramedis tersebut ke posnya. Luka di kepala lelaki itu diobati. Di sana, kata
Romo Sandyawan, –salah seorang pendiri tim relawan tersebut– lelaki itu
mengakui bahwa dia telah direkrut dan dilatih bagaimana memancing kerusuhan.
Menurut lelaki itu, mula-mula dia menerima uang muka 2 dolar AS (perhitungan kurs rupiah saat itu sekitar Rp 35 ribu) dan diangkut ke Jatinegara oleh beberapa lelaki yang sulit dikenali. Lelaki ini juga berkata, dia direkrut dalam rombongan beranggota delapan orang dari Jawa Barat. Setelah dilatih, dia diberi batu dan bom molotov dari bensin. Menurut dia, dalam rombongan beranggota delapan orang tadi, mungkin dialah satu-satunya yang bertahan hidup akibat kerusuhan.
Menurut lelaki itu, mula-mula dia menerima uang muka 2 dolar AS (perhitungan kurs rupiah saat itu sekitar Rp 35 ribu) dan diangkut ke Jatinegara oleh beberapa lelaki yang sulit dikenali. Lelaki ini juga berkata, dia direkrut dalam rombongan beranggota delapan orang dari Jawa Barat. Setelah dilatih, dia diberi batu dan bom molotov dari bensin. Menurut dia, dalam rombongan beranggota delapan orang tadi, mungkin dialah satu-satunya yang bertahan hidup akibat kerusuhan.
Romo Sandyawan
menuturkan, pemuda dari Jawa Barat itu diasramakan dan dibrifing selama dua
pekan di markas militer di pinggiran selatan Jakarta. Romo Sandyawan mengaku
percaya pada penuturan pemuda itu, tetapi belum bisa menjamin penuh akurasinya
karena pemuda tadi mengalami cedera syaraf.
Eksodus warga asing
terus berlangsung. Ribuan WNI keturunan Cina dan warga asing lain bertolak
lewat jalur udara. Jalur air juga tak haram, yang penting cepat keluar dari
Jakarta. Pukul 05.00 WIB pada 17 Mei, seorang wanita asing dan bayi
perempuannya dikawal menuju bandara dengan perlindungan diplomatik.
Di setiap ujung jalan,
sopir selalu memberikan sinyal yang sudah disepakati. Dan, serdadu yang
bersembunyi di balik barikadenya membiarkan mobil itu lewat. Beberapa orang
yakin bahwa pasukan-pasukan itu pasti sudah diberi tahu agar tidak berdiri dan
tampak dalam keadaan siaga penuh. Sebab, para komandannya tentu cemas akan
terjadi serangan yang mungkin dari pasukan lain.
Pukul 10.00 WIB, pada 17 Mei, Prabowo mengunjungi rumah Hery Hartanto, mahasiswa Trisakti yang gugur ditembak pada aksi demo 12 Mei. Ketika orang tua Hery menatapnya, Prabowo mengangkat Alquran ke atas kepalanya dan bersumpah bahwa dirinya tidak memerintahkan pembunuhan di Trisakti itu. Ayah almarhum Hery, Sjahrir Muljo Utomo –yang juga seorang purnawirawan AD– mengaku tak tahu pasti: percaya atau tidak mempercayai sumpah Prabowo itu.
Ketika warga Jakarta mulai bersih-bersih, sekutu-sekutu Soeharto mulai kelimpungan mencari jalan menyelamatkan muka. Mereka pun berusaha meyakinkan Soeharto agar mundur. Para ketua parlemen (DPR) mulai berani bicara soal penyimpangan penguasa, tetapi meminta Soeharto mundur dengan jalan mereka adalah tidak konstitusional. Hal yang bisa mengancam munculnya konfrontasi antara militer dan parlemen.
Pukul 10.00 WIB, pada 17 Mei, Prabowo mengunjungi rumah Hery Hartanto, mahasiswa Trisakti yang gugur ditembak pada aksi demo 12 Mei. Ketika orang tua Hery menatapnya, Prabowo mengangkat Alquran ke atas kepalanya dan bersumpah bahwa dirinya tidak memerintahkan pembunuhan di Trisakti itu. Ayah almarhum Hery, Sjahrir Muljo Utomo –yang juga seorang purnawirawan AD– mengaku tak tahu pasti: percaya atau tidak mempercayai sumpah Prabowo itu.
Ketika warga Jakarta mulai bersih-bersih, sekutu-sekutu Soeharto mulai kelimpungan mencari jalan menyelamatkan muka. Mereka pun berusaha meyakinkan Soeharto agar mundur. Para ketua parlemen (DPR) mulai berani bicara soal penyimpangan penguasa, tetapi meminta Soeharto mundur dengan jalan mereka adalah tidak konstitusional. Hal yang bisa mengancam munculnya konfrontasi antara militer dan parlemen.
Ketika tanda-tanda
"pertentangan" itu dicemaskan terjadi, ketegangan muncul juga antara
militer dan mahasiswa yang sudah merencanakan menggelar aksi masal sejuta orang
pada 20 Mei. Wiranto memantapkan diri mendukung Soeharto. Namun, Wiranto juga
meminta Soeharto membentuk kabinet baru dan melaksanakan reformasi.
Sementara itu,
mahasiswa yang sudah makin berani setelah melihat Soeharto kian tak berdaya
memutuskan siap menggelar aksi ke tempat yang telah memberikan amanah kepada
Soeharto itu, apalagi kalau bukan gedung DPR/MPR. Mahasiswa demonstran
gelombang pertama tiba diangkut kendaraan militer pada 19 Mei pagi hari. Mereka
memakai jaket almamater dan menunjukkan identitas ketika melintasi pintu
gerbang gedung wakil rakyat itu.
Pukul 11.00 WIB, tidak
seperti biasanya, Soeharto muncul di layar televisi nasional. Membaca naskah,
sosok yang sudah 32 tahun memerintah Indonesia itu bersumpah siap meninggalkan
kantor sesegera mungkin. Dia juga menjanjikan pemilihan umum baru dengan
undang-undang yang baru pula untuk mengisi keanggotaan parlemen. Saat itu pula,
Soeharto berjanji bahwa antara dia dan Habibie (saat itu Wapres) tidak akan
mencalonkan diri untuk periode jabatan berikutnya.
Faisal Ingatkan Habibie, Prabowo Berbahaya
Faisal Ingatkan Habibie, Prabowo Berbahaya
Untuk mewujudkan semua
rencana itu, Soeharto akan membentuk sebuah dewan yang merumuskan arah
reformasi politik. Tetapi, mahasiswa yang sudah menduduki parlemen bersumpah
tidak akan pergi, kecuali bila Soeharto mau mundur. Malam itu, sekitar 3.000
mahasiswa tetap bertahan di area DPR/MPR. Mereka tidur di tenda-tenda atau di
atas tikar plastik. Para penyokong aksi mahasiswa ini, yang umumnya kalangan
menengah, memberikan dukungan berupa makanan dan air kemasan.
Malam itu, menurut
orang-orang dekatnya, Habibie menelepon Soeharto. Habibie mengungkapkan
kecemasannya bahwa karier politik Pak Harto akan berakhir prematur pada esok
hari yang sudah menjelang. Tetapi, Soeharto berjanji akan melaksanakan pemilu
daripada menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden seperti Habibie.
Habibie, kata
koleganya, sangat terluka. Dia yakin Soeharto tidak akan lama bertahan. Itulah
satu-satunya pilihan saat itu. Sebab, cara-cara lain tampaknya sudah tidak
rasional.
20–21 MEI: Beberapa jam menjelang fajar, Jakarta tampak sebagai kota di bawah pendudukan. Ratusan tentara bersenjata senapan laras dan tank-tank ringan serta personel artileri melakukan patroli di ibu kota. Jalan-jalan menuju Monumen Nasional (Monas), tempat yang sudah diplot sebagai venue aksi sejuta massa pada 20 Mei, sudah diblokade dengan kawat berduri dan artileri berat. Tidak ada jalan lain, aksi masal itu pun dibatalkan.
20–21 MEI: Beberapa jam menjelang fajar, Jakarta tampak sebagai kota di bawah pendudukan. Ratusan tentara bersenjata senapan laras dan tank-tank ringan serta personel artileri melakukan patroli di ibu kota. Jalan-jalan menuju Monumen Nasional (Monas), tempat yang sudah diplot sebagai venue aksi sejuta massa pada 20 Mei, sudah diblokade dengan kawat berduri dan artileri berat. Tidak ada jalan lain, aksi masal itu pun dibatalkan.
Sore itu, Wiranto
menyarankan kepada Soeharto bahwa satu-satunya cara konstitusional transfer kekuasaan
adalah menyerahkan jabatan presiden itu kepada Wapres Habibie. Wiranto kemudian
mengajukan tiga tuntutan kepada Habibie. Yakni, dia tetap sebagai panglima
ABRI, lalu Habibie harus komitmen terhadap reformasi, serta jabatan Prabowo
harus diganti.
Tapi, kata sahabat
dekatnya, Habibie sudah sekian lama mengenal Prabowo. Mereka berdua tinggal
cukup lama di luar negeri. Mereka saling berbagi kepentingan dalam memajukan
kepentingan muslim. Pendeknya, satu sama lain saling membutuhkan. Prabowo-lah
yang banyak membantu Habibie bersahabat dengan para perwira senior.
Katakanlah, lanjut
sumber tadi, dalam pekan genting itu Prabowo dan Habibie bekerja sama membujuk
Soeharto agar mundur. Sebagai imbalan, Habibie siap memberi Prabowo jabatan
kepala staf Angkatan Darat (KSAD).
Pukul 09.00 WIB pada
21 Mei, lewat siaran televisi nasional, Soeharto mengumumkan lengser keprabon.
Setelah tiga dasawarsa lebih memerintah Indonesia, dia meminta maaf kepada
rakyat atas segala kesalahan dan kekurangan. Dan, Habibie tampak ragu-ragu
sebelum diambil sumpahnya sebagai presiden ketiga sejak Indonesia merdeka.
Hampir tengah malam
setelah pengunduran Soeharto, Prabowo muncul di Istana Kepresidenan dengan
pasukan siap tempur. Berbekal pistol otomatis dan beberapa truk pasukan Kostrad
yang sudah menanggalkan tanda resimennya, Prabowo menagih jabatan KSAD yang
sudah dijanjikan Habibie.
Saat itulah pengawal
Habibie memanggil Wiranto dan Feisal Tanjung, mantan Pangab, ke istana. Feisal
mengingatkan Habibie bahwa Prabowo adalah sosok yang terlalu bahaya bila harus
memimpin AD. Kepada orang, Habibie kemudian hanya bisa berkata bahwa malam itu
dia memang takut akan keselamatan nyawanya.