Tidak
seperti biasanya. Malam itu Trimo berulang
kali melakukan takbirotul ihrom. "Apa
sebenarnya terjadi?" Trimo bertanya
dalam hatinya sendiri karena tak kunjung menemukan kekhusu`an dalam tahajjudnya sebagaimana pada malam-malam
sebelumnya. "Kenapa
pikiranku kacau?" Tanyanya lagi.
*****
Lelaki
yang telah beruban pada beberapa
helai rambutnya itu terus memutar tasbih seraya berfikir. Dia mengingat-ingat
apa saja yang dilakukannya seharian tadi. Semenjak subuh, Trimo tidak keluar rumah. Pada hari ini jadwal
Trimo menghatamkan al-qur'an di
mushalla kecilnya. Dia
tidak bertemu siapa pun kecuali istrinya setiap akan melaksanakan sholat
berjama'ah. Seharian pula Trimo berpuasa.
Jadi tak mungkin dia makan barang yang bukan haknya.
Meski
tergolong keluarga yang sederhana, tapi Trimo merupakan orang yang teguh menjalankan kehidupan beragama.
Keberagamaan Trimo lebih
pada prilaku kehidupannya. Dia bukan orang yang pandai berceramah mengutip
firman-firman Tuhan atau sabda-sabda Rosul. Apalagi sampai mengkafirkan dan
menyesatkan orang lain. Trimo juga
tidak menampakkan prilaku beribadahnya secara terang-terangan dengan memakai
jubah, surban, atau memanjangkan jenggot dan menghitamkan dahinya. Dia
berdandan laksana orang tani desa pada umumnya, paling-paling hanya kopiah
hitam yang sering menemaninya.
Dakwah
bil hal begitu para mubaligh menyebutnya. Ketika semua orang
berlomba-lomba mengkomersilkan dirinya, termasuk para “oknum
mubaligh”
Trimo justru berusaha untuk
mewakafkan dirinya pada umat. Dia Tanami halaman di pekarangan rumahnya dengan
kebutuhan sehari-hari, ada pohon pisang, pepaya, mangga, nangka, ketela, kemangi, dan tomat, terong serta cabe. Ada juga tanaman
obat seperti jeruk nipis, sirih, jahe, kunyit dan temulawak. Hampir setiap hari
para tetangganya mampir untuk mencari keperluan sehari-hari dipekarangannya
tanpa dipungut biaya.
“Aku bukan orang pandai mengaji, juga bukan orang yang kaya, maka beginilah caraku berdarma pada masyarakat.” Ujarnya ketika ditanya tetangga perihal hasil kebunnya yang diobral tanpa dijual.
“Tapi kan itu bisa jadi sumber penghidupan panjenengan pak?” tanggap si tetangga.
“Aku bukan orang pandai mengaji, juga bukan orang yang kaya, maka beginilah caraku berdarma pada masyarakat.” Ujarnya ketika ditanya tetangga perihal hasil kebunnya yang diobral tanpa dijual.
“Tapi kan itu bisa jadi sumber penghidupan panjenengan pak?” tanggap si tetangga.
“Ah,
kalau masalah itu biar Allah saja yang mengatur. Insyaallah niat baik akan
dibalas kebaikan pula.” Pungkas Trimo dengan
mantap.
Selain
kedermawanannya, Trimo juga
dikenal sebagai orang yang menjaga makanannya. Hampir semua asupan makanan yang
dikonsumsi harus diketahui asal-usulnya. Beras yang dimakan, hasil dari panenan
di sawahnya sendiri. Sedangkan lauk-pauknya berasal dari kolam ikan atau ternak
unggas di belakang rumahnya. Hampir semuanya didapat dari hasil jerih payahnya
sendiri.
******
Tiba-tiba Trimo terperanjat ditengah lamunannya. "Apakah dari barang itu?" Gumam Trimo mengingat sesuatu.Trimo segera bergegas membangunkan istrinya.
"Dinda."
Trimo membangunkan istrinya
dengan mesra.
Sang
Istri menggeliat bangun, “Ada apa Kanda?”
"Dinda
dapat mana air roti tadi?" Tanya Trimo. Menanyakan roti yang diminumnya
ketika waktu berbuka puasa tadi.
"Bu
Bowo, tetangga sebelah."
jawab istrinya.
“Memangnya
ada apa Kanda?” Sang Istri balik bertanya dengan mata terkesiap setelah bangun.
Trimo menceritakan tentang ketidak-tenangan jiwanya dalam beribadah.
Setelah menceritakan hal ihwal apa yang terjadi pada dirinya sang istri menyarankan untuk menanyakan langsung pada Bu Yudho akan asal-usul roti tersebut, “Kanda Tanya langsung saja sama Bu Yudho.”
“Baiklah Dinda.” Trimo mengangguk.
Trimo menceritakan tentang ketidak-tenangan jiwanya dalam beribadah.
Setelah menceritakan hal ihwal apa yang terjadi pada dirinya sang istri menyarankan untuk menanyakan langsung pada Bu Yudho akan asal-usul roti tersebut, “Kanda Tanya langsung saja sama Bu Yudho.”
“Baiklah Dinda.” Trimo mengangguk.
“Tapi
hati-hati Kanda kalau bertanya, jangan sampai membuat beliaunya tersinggung.” Istrinya mengingatkan.
Sekali lagi Trimo mengangguk namun dengan tatapan nanar menerawang entah kemana di dalam kegelapan kamar yang hanya diterangi lampu pijar warna kuning lima watt itu.
Sekali lagi Trimo mengangguk namun dengan tatapan nanar menerawang entah kemana di dalam kegelapan kamar yang hanya diterangi lampu pijar warna kuning lima watt itu.
*****
Setelah sholat subuh, mentari masih mengintip malu di balik cakrawala. Cahayanya tersembul samar-samar mengupas gelapnya subuh. Suara-suara burung pun masih enggan mengoceh. Hanya satu dua suara burung emprit yang terdengar seolah mengabarkan bahwa hawa diluar masih dingin.
Trimo bergegas menemui Bu Yudho. "Maaf Bu Yudho, shubuh-shubuh begini mengganggu." Trimo memulai percakapanya.
Setelah sholat subuh, mentari masih mengintip malu di balik cakrawala. Cahayanya tersembul samar-samar mengupas gelapnya subuh. Suara-suara burung pun masih enggan mengoceh. Hanya satu dua suara burung emprit yang terdengar seolah mengabarkan bahwa hawa diluar masih dingin.
Trimo bergegas menemui Bu Yudho. "Maaf Bu Yudho, shubuh-shubuh begini mengganggu." Trimo memulai percakapanya.
Bu Yudho yang sedang menyapu halaman kaget. Tidak seperti biasanya, Trimo shubuh-shubuh telah berkunjung ke tetangga. Biasanya sepulang dari sawah baru bersua dengan para tetangga, mengobrolkan ngalor-ngidul mengenai, pertanian, perekonomian, kesehatan tak lupa pula mengenai hukum dan perpolitikan. Namun dia sangat berhati-hati jika diajak menggibah tetangganya.
"Ada apa Kang?" Bu Yudho bertanya.
"Apa
benar ibu ngasih roti pada istri saya?" Trimo balik bertanya.
"Iya
Kang." Jawabnya penuh keheranan.
"Kalau
boleh tahu darimana ibu mendapat roti itu?"
"Suami
saya yang membawanya kemarin lusa." Bu Yudho memberi tahu.
"Untuk
pastinya saya kurang tahu, tunggu suamiku saja. Dia masih disawah."
Ujarnya. Trimo berpamitan.
Trimokembali pulang. Ditemani sinar mentari yang menyelusup dibalik dedaunan, Trimo mengayunkan kakinya dengan gontai. Gemericik suara burung diranting pohon rambutan diseberang jalan rumah Bu Yudho tak terdengar merdu di telinga Trimo. Jalan setapak yang menghubungkan rumahnya dan Bu Yudho terasa jauh dan tampak mengecil di ujung sana. Pikirannya kembali kacau mengingat aliran darah yang tercampur dengan roti yang tak jelas asal-usulnya.
Trimokembali pulang. Ditemani sinar mentari yang menyelusup dibalik dedaunan, Trimo mengayunkan kakinya dengan gontai. Gemericik suara burung diranting pohon rambutan diseberang jalan rumah Bu Yudho tak terdengar merdu di telinga Trimo. Jalan setapak yang menghubungkan rumahnya dan Bu Yudho terasa jauh dan tampak mengecil di ujung sana. Pikirannya kembali kacau mengingat aliran darah yang tercampur dengan roti yang tak jelas asal-usulnya.
*****
Setelah
agak siang, akhirnya datang juga Pak Yudho, suami Bu Yudho. Tak berapa lama
Trimo kembali datang. Setelah
berbasa-basi Trimo langsung menanyakan perihal roti yang
diberikan kepada istrinya.
“Maaf sebelumnya Pak.” Trimo bersopan santun. “Kemarin istri saya mendapat roti dari istri bapak. Kalau boleh tahu dari mana bapak mendapatkan rotii tersebut?” Tanyanya.
“Maaf sebelumnya Pak.” Trimo bersopan santun. “Kemarin istri saya mendapat roti dari istri bapak. Kalau boleh tahu dari mana bapak mendapatkan rotii tersebut?” Tanyanya.
"Itu
dibagi-bagikan Pak Jomblang kemarin." Pak Yudho memberitahu asal-usul roti
tersebut.
“Pak
Jomblang?” Dalam hati Trimo bertanya-tanya,
siapa pak jomblang
itu.
Setelah
diberi tahu alamat rumah Pak Jomblang, Trimo meluncur
ke rumah kediaman Pak Jomblang. Dengan mengendarai sepeda onthel, Trimo berangkat mencari rumahnya Pak Jomblang. Alamat yang
ditunjukkan Pak Yudho tertuju pada kompleks perumahan mewah di tengah kota.
“Bu tahu rumahnya Pak Jomblang?” Trimo bertanya pada ibu-ibu penjaja kue.
“Bu tahu rumahnya Pak Jomblang?” Trimo bertanya pada ibu-ibu penjaja kue.
Dengan
hanya terdiam ibu itu menunjuk ke arah belakangnya. Sebuah rumah besar nan
mewah disbanding dengan tetangga-tetangganya. Sesampainya di rumah Pak Jomblang, Trimo tertegun beberapa saat. Trimo melihat poster besar di depan rumah Pak Jomblang. "Dukung PAK Jomblang. JUJUR terpercaya membawa
AMANAT rakyat." Begitu tulisan pada poster tersebut dengan gambar setengah
badan Pak Jomblang yang salah satu tangannya mengepal ke atas. Pak Jomblang
ternyata anggota dewan yang akan maju lagi pada pemilihan legislatif tahun
depan.
Meski
hanya orang miskin dan tidak berpendidikan tinggi, tapi bagi Trimo berita tentang situasi dan kondisi bangsa
yang begitu penuh dengan keboborokan tak diketahuinya. Meski hidup di desa
kecil, tapi sarana informasi seperti televisi atau pun Koran telah masuk. Meski
hanya pada warung-warung kopi.
Trimo bergumam dalam hatinya, Apa mungkin roti yang dibagikan Pak Jomblang adalah bentuk dari penyuapan pada para pemilih atau uang untuk membeli roti tersebut adalah hasil korupsi dari uang negara yang dikumpulkan dari pajak rakyat. Atau mungkin roti itu sebernarnya hak orang lain yang kemudian oleh Pak Jomblang tidak disampaikan kepada yang berhak, tapi justru diberikan kepada pendukungnya?. Segala kemungkinan negatif akan asal-usul roti tersebut lalu lalang dibenak Trimo.
"Ah, saya tidak boleh su'udzon." Trimo menepis pikiran negatifnya tentang Pak Jomblang.
Trimo bergumam dalam hatinya, Apa mungkin roti yang dibagikan Pak Jomblang adalah bentuk dari penyuapan pada para pemilih atau uang untuk membeli roti tersebut adalah hasil korupsi dari uang negara yang dikumpulkan dari pajak rakyat. Atau mungkin roti itu sebernarnya hak orang lain yang kemudian oleh Pak Jomblang tidak disampaikan kepada yang berhak, tapi justru diberikan kepada pendukungnya?. Segala kemungkinan negatif akan asal-usul roti tersebut lalu lalang dibenak Trimo.
"Ah, saya tidak boleh su'udzon." Trimo menepis pikiran negatifnya tentang Pak Jomblang.
Akhirnya
Trimo memberanikan diri untuk
masuk ke rumah mewah berpagar tinggi dengan warna abu-abu.
“Assalamualaikum.” Trimo mengucapkan salam sambil memencet tombol putih dipagar rumah. Setelah berkali-kali Trimo memencet bel dan berulang-ulang memekikkan salam, tapi tak kunjung menemukan jawaban, akhirnya Trimo membuka pintu gerbang yang ternyata tidak dikunci itu. Pos satpam yang ada dibalik pintu gerbang kosong. Si satpam entah kemana, hanya ada pentungan yang tergeletak diatas buku tamu. Radio diatas lemari juga masih menyala, namun hanya mengeluarkan suara tak jelas. Tampaknya si satpam terburu-buru meninggalkan ruangannya sampai-sampai tidak sempat membetulkan saluran gelombang radionya. Setelah Trimo tidak menemukan orang di pos satpam, dia langsung menuju ke rumah besar itu.
“Assalamualaikum.” Trimo mengucapkan salam sambil memencet tombol putih dipagar rumah. Setelah berkali-kali Trimo memencet bel dan berulang-ulang memekikkan salam, tapi tak kunjung menemukan jawaban, akhirnya Trimo membuka pintu gerbang yang ternyata tidak dikunci itu. Pos satpam yang ada dibalik pintu gerbang kosong. Si satpam entah kemana, hanya ada pentungan yang tergeletak diatas buku tamu. Radio diatas lemari juga masih menyala, namun hanya mengeluarkan suara tak jelas. Tampaknya si satpam terburu-buru meninggalkan ruangannya sampai-sampai tidak sempat membetulkan saluran gelombang radionya. Setelah Trimo tidak menemukan orang di pos satpam, dia langsung menuju ke rumah besar itu.
Betapa
terperanjatnya Trimo ketika
melihat ke dalam rumah tersebut. Police Line membentang di depan pintu masuk
rumah tersebut. Lebih terperanjat lagi ketika Trimo melihat sebuah mobil avanza hitam
bertuliskan: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kaca belakang.
"Astagfirullahal
adzim, Innahu Kaana
Ghoffaro pikiranku benar, aku telah memakan barang haram yang
mengganggu ibadahku.