Pengertian
Istilah intuisi memiliki banyak pengertian. Ada yang mengartikannya sebagai kapasitas batin yang membuat kita mengetahui sesuatu ketika pikiran kita tidak mengetahuinya. Intuisi adalah kemampuan untuk mengetahui sesuatu tanpa melalui proses reasoning atau conscious analyzing hingga kita bisa menjawab "what to do". Intuisi dalam pengertian seperti di atas, kata banyak orang malah sebenarnya semakin kita butuhkan di era informasi dan globalisasi ini. Lho, kok gitu? Bukannya teknologi sudah semakin mampu membuat kita mengetahui sesuatu yang otak kita tidak mengetahuinya, seperti SMS, internet, dan seterusnya dan seterusnya?
Di
atas kertas putih, memang logika seperti itu bisa diterima. Tapi, kenyataan
punya logika yang berbeda. Di era dimana informasi menjadi semakin berlimpah
seperti sekarang ini, justru terkadang malah membuat kita semakin kurang
informatif karena saking banyaknya informasi. Di samping itu, perubahan
realitas yang dipicu oleh kemajuan teknologi, juga menuntut orang-orang
tertentu harus mengambil keputusan cepat dan tepat. Untuk memutuskan sesuatu
yang dasarnya informasi akurat secara internal dan eksternal, maka peranan
intuisi menjadi semakin besar. Apa gunanya kita mengetahui banyak berita
tentang dunia ini melalui tivi, hape, radio, internet, dan lain-lain, tetapi
kita tidak mengetahui informasi yang tepat, yang membuat kita tahu apa yang
mesti kita lakukan?
Seperti
itulah kira-kira argumen yang kerap muncul. Albert Einstein (1879-1955) mungkin
punya argumen tersendiri saat mengatakan: "The only real valuable thing is
intuition." Padahal, track record-nya adalah ilmuwan, yang kalau menurut
lazimnya, harus berbicara mengenai pentingnya reasoning, analyzing, knowing by
fact, dan seterusnya. Ada lagi yang mengartikannya sebagai cara belajar, lebih
tepatnya adalah bagaimana seseorang mendapatkan informasi dan mengambil
keputusan. Cara belajar yang intuitive, menurut Jean M. Kummerow, dkk (Work
Types: 1997), berbeda dengan cara belajar yang sensitif (sensing: meraba
materi). Bentuk cara belajar intuitive itu antara lain: abstrak, imajinatif,
koleksi ide-ide, teoritis, dan original (personal uniqueness).
Intuisi
juga diartikan sebagai Alam Bawah Sadar (The Unconscious Mind) atau sesuatu
yang kita lakukan tanpa proses berpikir secara sadar atau sudah menjadi
kebiasaan. Ini seperti layaknya seorang sopir kendaraan yang mengetahui sesuatu
tentang kendaraannya di jalan secara otomatik tanpa proses menemukan fakta
logis lebih dahulu, misalnya mengukur besar-kecilnya atau harus ke kanan atau
kiri.
Mendukunisasi Intuisi
Mendukunisasi Intuisi
Ada
lagi istilah lain untuk menjelaskan apa itu intuisi. Istilah itu adalah
kecerdasan hati (heart intelligence). Hati kita lebih sering dapat mengetahui
sesuatu secara lebih cepat ketimbang nalar. Karena itu, orang-orang tua sering
menasehati "ikuti kata hatimu" saat kita tidak tahu apa yang harus
kita lakukan. Dari sekian pengertian intuisi yang kelihatannya berbeda itu,
ternyata dapat memberikan penjelasan yang sangat logis mengenai cara kerjanya.
Intuisi adalah kapasitas atau kecerdasan yang diberikan Tuhan kepada kita, yang
fungsinya adalah memberi tahu tentang "What to do" dan "What not
to do"saat kita tidak punya bekal pengetahuan atau dalam kondisi tidak
sempat mencari pengetahuan.
Seperti kita alami sehari-hari, dalam hidup ini sudah biasa kalau kita harus memberi response atau jawaban terhadap persoalan, padahal kita tidak tahu atau belum sempat bertanya. Namanya juga perang, tentu harus ada pukulan yang tak bisa kita prediksi. Mungkin atas dasar itulah Tuhan membekali kita dengan intuisi. Kan tidak lucu kalau kita selalu harus buka buku dulu setiap perlu mengambil keputusan dengan cepat? Nah, supaya kecerdasan intuisi itu lebih sanggup memberikan akurasi yang bagus, tentu perlu dilatih. Sayangnya, tidak ada sekolah atau kursus untuk ini sehingga harus dari inisiatif sendiri. Salah satu caranya adalah dengan menjalankan intuitive learning, seperti yang disarankan di muka. Latihan akan membuat kita dapat mengambil keputusan secara unconsciuous (tidak usah dipikir dulu).
Seperti kita alami sehari-hari, dalam hidup ini sudah biasa kalau kita harus memberi response atau jawaban terhadap persoalan, padahal kita tidak tahu atau belum sempat bertanya. Namanya juga perang, tentu harus ada pukulan yang tak bisa kita prediksi. Mungkin atas dasar itulah Tuhan membekali kita dengan intuisi. Kan tidak lucu kalau kita selalu harus buka buku dulu setiap perlu mengambil keputusan dengan cepat? Nah, supaya kecerdasan intuisi itu lebih sanggup memberikan akurasi yang bagus, tentu perlu dilatih. Sayangnya, tidak ada sekolah atau kursus untuk ini sehingga harus dari inisiatif sendiri. Salah satu caranya adalah dengan menjalankan intuitive learning, seperti yang disarankan di muka. Latihan akan membuat kita dapat mengambil keputusan secara unconsciuous (tidak usah dipikir dulu).
Seperti
yang sudah kita bahas di sini, ketika kita sudah sanggup melakukan sesuatu
dengan cepat (tanpa perlu berpikir keras, panjang dan lama) dan tingkat akurasi
yang tinggi (The unconsciously skilled), maka tingkat keahlian kita sudah
tinggi levelnya. Stephen R. Covey, menyebutnya sebagai habit. Untuk melatih
habit, maka syaratnya harus tiga, yaitu: a) mengasah ketrampilan, b) menambah
pengetahuan, dan c) memiliki keinginan yang kuat. (Stephen R. Covey, 7 Habits of Highly of Effective People: Simon
& Schuster, Inc., 1993).
Nah,
sebagai kapasitas atau kecerdasan
yang menunggu sentuhan, maka akan lebih beruntung jika kita tidak selalu
mendukunisasi intuisi. Dukunisasi dalam arti menghilangkan pemahaman yang
berbasis akal sehat mengenai intuisi. Kita lebih sibuk memburu "orang
pintar" yang dapat memberi jawaban instan tanpa latihan. Atau lebih sibuk
kirim SMS ketimbang melatih proses. Memang, ada banyak jalan yang diturunkan
Tuhan untuk mengetahui sesuatu, tanpa melalui proses reasoning, selain intuisi,
dari mulai wangsit, bisikan jin, ilham, insting yang unik, dan seterusnya.
Tetapi, secara fakta, tidak ada yang validitas, akurasi, dan kemanfaatannya
melebihi proses yang berbasiskan akal sehat jika kepentingannya untuk
mengetahui "what to do" atau "what not to do". Bisa saja
kita dapat informasi dari "orang pintar" bahwa bisnis kita itu harus
mengandung air atau kayu. Tapi kalau latihannya tidak jalan untuk mengasah
intuisi yang berbasiskan akal sehat, hampir dipastikan kinerjanya sangat rendah.
Bisa-bisa kalah oleh ketakutan, suara egoisme, ambisi, atau kalah oleh
khayalan.
Mengelola
Keleluasaan Dan Keterbatasan
Tuhan
memang menurunkan sekian keunikan kepada kita. Di samping memberi keleluasaan
yang tak terbatas, kita pun dikasih keterbatasan. Agar kita bisa bergerak cepat
saat tidak tahu harus kemana, Tuhan memberi kita intuisi. Tapi intuisi pun tak
bisa menghilangkan keterbatasan, lebih-lebih menjadikan kita manusia yang tak
pernah salah. Ini mustahil.
Selain
terkait dengan proses mengasah kecerdasan, dimana setiap orang punya bentuk
keterbatasan yang berbeda-beda, akurasi dan validitas intuisi juga terkait
dengan jam terbang, spesialisasi atau wilayah perjuangan hidup. Penulis punya
intuisi yang lebih tajam untuk hal-hal yang terkait dengan tulisan, begitu juga
dengan teknisi IT yang sudah bisa mengetahui sebelum tahu. Sama juga dengan
pengusaha, politikus, dan lain-lain. Memang harus diakui, ada sebagian orang
yang dikasih intuisi hanya spesifik, sesuai bidangnya, dan ada yang dikasih ketajaman
intuisi secara generik, dalam arti mampu melampaui bidangnya. Misalnya seorang
guru yang bisa melihat muridnya secara intuitif. Itu sepertinya sudah merupakan
hak veto Tuhan untuk membedakan dan menyamakan manusia.
Keterbatasan
lainnya adalah mengetahui suara intuisi yang pas untuk keadaan yang pas. Ini
juga tidak seratus persen dapat kita jamah. Adakalanya intuisi itu tampil dalam
bentuk blitz (cahaya) yang sudah langsung tergambar di otak dari hati, innatefeeling (perasaan yang mengarahkan kita), kecondongan keyakinan, terulangnya
kejadian yang kebetulan-tapi-tidak-kebetulan, dan lain-lain.
Intinya,
selain dikasih kapasitas untuk mengambil keputusan berdasarakan tool yang
nyata, seperti pengetahauan, reasoning, dan seterusnya, Tuhan pun mengasih kita
tool yang tidak nyata. Mulai dari intuisi, hidayah, ilham, feeling, insting,
mimpi, dan seterusnya. Bedanya pada kualitas kinerja. Supaya kinerjanya bagus,
harus dilatih. Supaya latihannya jalan, memang harus ada connectedness.
Sangkan Paraning Dumadi
Sangkan Paraning Dumadi
Di
tradisi spiritual kita ada istilah Sangkan Paraning Dumadi atau
anjuran untuk mengetahui darimana dan mau kemana kita ini. Secara makro, pasti
kita sudah tahu bahwa istilah itu mengajarkan kita untuk mengetahui Tuhan. Kita
berasal dari Tuhan dan akan kembali ke Tuhan juga. Yang kerap kita lupakan
adalah menggeret penerapannya ke ruang lingkup yang paling mikro, yaitu
mengetahui diri kita. Padahal, pengetahuan diri merupakan kunci untuk
mengetahui Tuhan. Walaupun kita sudah diajari mengenal Tuhan, tapi kalau belum
mengenal diri, bisa-bisa pengetahuan kita tentang Tuhan baru di tingkat
normatifnya, yang baru bagus untuk menjawab ujian sekolah, tapi kerap gagal
untuk menjawab ujian kehidupan.
Cara yang diajarkan untuk mengenal diri, dari sejak turunnya para Nabi sampai ke temuan spiritual modern, adalah membangun komunikasi dengan diri agar tercipta connectedness (keterhubungan) antara kita dengan diri kita, dari yang sifatnya paling global sampai ke yang paling detail, dari yang paling makro sampai ke yang paling mikro. Ini misalnya saja mengenal dimana wilayah / bidang kita, mengenal kelebihan dan keunikan kita, mengenal visi dan nilai yang kita perjuangkan, atau mengenal Sangkan Paraning Dumadi kita sebagai hamba Tuhan yang harus tunduk dan sebagai khalifah Tuhan yang harus kreatif dengan kebebasan.
Cara yang diajarkan untuk mengenal diri, dari sejak turunnya para Nabi sampai ke temuan spiritual modern, adalah membangun komunikasi dengan diri agar tercipta connectedness (keterhubungan) antara kita dengan diri kita, dari yang sifatnya paling global sampai ke yang paling detail, dari yang paling makro sampai ke yang paling mikro. Ini misalnya saja mengenal dimana wilayah / bidang kita, mengenal kelebihan dan keunikan kita, mengenal visi dan nilai yang kita perjuangkan, atau mengenal Sangkan Paraning Dumadi kita sebagai hamba Tuhan yang harus tunduk dan sebagai khalifah Tuhan yang harus kreatif dengan kebebasan.
Intensitas
dan kualitas komunikasi (connectedness) kita dengan diri sangat terkait
dengan kinerja intuisi, entah yang spesifik atau yang generik, jika dikaitkan
dengan bagaimana keputusan akan kita ambil, "what to do"dan
"what not to do". Untuk sebagai monitor, kita bisa mengecek bagaimana
proses pengambilan keputusan itu melalui pertanyaan di bawah ini:
1.
Apakah kita sudah sering
mengambil keputusan secara spontan lalu bekerja untuk menjalankan keputusan itu
dan hasilnya lebih sering OK-nya?
2.
Apakah kita terbiasa mengambil keputusan
melalui proses “pikir-pikir” dulu, menimbang salah-benarnya, lamban bertindak,
dan hasilnya terkadang OK dan terkadang TIDAK OK?
3.
Apakah kita terbiasa
mengambil keputusan melalui penolakan dulu, lari ke argumen moral dan retorika
norma, tidak bersikap, tidak bertindak, dan hasilnya tidak mengubah apa-apa?
Jika yang sering kita lakukan nomor
(1), maka intuisi kita sudah bekerja lebih bagus karena connectedness kita
sudah lebih intens. Kita sudah tahu lebih cepat what to do dan what not to do.
Tapi kalau yang nomor (2), intensitas komunikasi kita masih lebih sering pada
teori atau logika umum yang kita hafal sehingga kita butuh waktu atau butuh
buka buku dulu. Sedangkan untuk nomor (3), bisa ada dua kemungkinan. Mungkin
kita lebih intens dengan nafsu egoisme kita sehingga sering menolak apa yang
terjadi (bukan menyikapi atau work on terhadap apa yang terjadi) atau mungkin
lebih intens dengan khayalan kita sehingga lebih sering mengidealisasikan
kenyataan, bukan menghadapi kenyataan.
Latihan Bersikap
Latihan Bersikap
Setiap hari, Tuhan melatih kita untuk menggunakan berbagai kapasitas, misalnya dengan memberi kejutan buruk, memberi pengalaman, atau pilihan dan puzzle. Terkadang, lebih sering kita menolak secara batin atau membiarkannya begitu saja. Padahal, kalau kita sikapi secara cepat, ini bisa melatih ketajaman intuitif, entah yang spesifik atau yang jenerarl. Bahwa untuk awal-awal ada banyak kesalahan, namanya juga belajar. Semoga bermanfaat.
referensi:
Dari pelbagai buku literatur psikologi.